Demokrasi kampus Universitas Tribhuwana Tunggadewi (UNITRI) kembali diuji. Pemilihan Umum Raya (Pemira) BEM yang digelar pada 23 Juli 2025 memantik gelombang kritik dan kekecewaan dari berbagai elemen mahasiswa.
KOMUNALIS.COM, MALANG - Demokrasi kampus Universitas Tribhuwana Tunggadewi (UNITRI) kembali diuji. Pemilihan Umum Raya (Pemira) BEM yang digelar pada 23 Juli 2025 memantik gelombang kritik dan kekecewaan dari berbagai elemen mahasiswa. Bukan soal kalah atau menang, tetapi karena proses yang dinilai cacat etik dan jauh dari nilai-nilai keadilan kolektif.
Salah satu tim sukses pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa resmi melayangkan surat keberatan kepada pihak Kemahasiswaan dan Rektorat. Mereka menyebutkan bahwa Pemira sarat dengan kejanggalan teknis serta dugaan intervensi yaitu sebuah preseden buruk bagi demokrasi yang seharusnya menjadi ruang tumbuhnya kesadaran politik mahasiswa.
“Kami menuntut agar Pemira diulang. Jika tidak, maka jalan tengah yang adil adalah memfakumkan BEM UNITRI selama satu tahun untuk evaluasi total sistem demokrasi kampus,” tulis mereka dalam surat terbuka.
Pernyataan ini bukan sekadar reaksi emosional, melainkan refleksi dari krisis kepercayaan terhadap proses demokrasi di lingkungan kampus. Demokrasi kampus, menurut mereka, tidak boleh direduksi menjadi formalitas prosedural semata. Ini adalah ruang belajar kolektif, tempat mahasiswa mengasah nalar kritis, etika kepemimpinan, dan tanggung jawab sosial.
Menanggapi kondisi ini, Aliansi Mahasiswa Aktivis UNITRI angkat suara. Mereka menolak diam. Mereka menolak tunduk pada situasi yang membungkam nalar kritis mahasiswa. Rektor, menurut mereka, tidak bisa bersikap netral dalam ketidakadilan. Diam bukan pilihan.
“Rektor harus bersikap. Tidak boleh menutup mata. Jika tidak ada langkah konkret, maka kepercayaan terhadap kampus sebagai rumah bersama akan runtuh,” tegas salah satu perwakilan aliansi.
Aliansi menekankan bahwa demokrasi kampus adalah hasil dari proses panjang perjuangan intelektual mahasiswa. Ketika ia mulai dikangkangi oleh kepentingan sesaat, maka bukan hanya Pemira yang bermasalah, tapi juga legitimasi seluruh struktur kemahasiswaan.
Mereka menyerukan agar rektor bertindak sebagai penengah yang adil, bukan sekadar administrator yang bersandar pada laporan formal. Demokrasi kampus bukan hanya urusan teknis, tetapi juga urusan etik dan moral.
“Kami akan terus mengawal proses ini. Tidak untuk satu pasangan calon, tetapi untuk masa depan demokrasi kampus yang lebih sehat, jujur, dan berpihak pada kebenaran.”
Di tengah berbagai tantangan hari ini, mahasiswa UNITRI membuktikan bahwa demokrasi bukan milik segelintir elit kampus. Ia milik kolektif. Ia milik mereka yang terus bersuara, yang menolak bungkam, dan yang percaya bahwa kampus adalah ruang rakyat, bukan panggung bagi aktor-aktor yang bermain di balik layar.
Recommended Post
Leave a Comment