September 02, 2025

PPATK Blokir Rekening: Kewenangan yang Kebablasan

August 02, 2025
6Min Reads
83 Views

Beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan oleh pengakuan seseorang yang mengalami pemblokiran rekening bank secara sepihak. Hal ini terjadi karena tidak bekerja atau menganggur selama tiga bulan. (Foto/CNN)

KOMUNALIS.COM, OPINI - Beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan oleh pengakuan seseorang yang mengalami pemblokiran rekening bank secara sepihak. Hal ini terjadi karena tidak bekerja atau menganggur selama tiga bulan. 


Tindakan yang dikaitkan dengan kewenangan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) itu menuai pertanyaan serius: benarkah seseorang yang sedang tidak berpenghasilan harus dicurigai dan dibekukan hak ekonominya?

Secara sepintas, narasi ini mungkin terdengar seperti bagian dari kampanye anti kejahatan keuangan. Namun, jika ditelaah secara yuridis, tindakan tersebut justru bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam sistem hukum kita. Ini bukan hanya soal prosedur, tetapi soal keadilan, hak asasi, dan batas kewenangan negara.

 

Kewenangan PPATK Menganalisis, Bukan Menghukum atau bahkan Menyita. 


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan PPATK kewenangan untuk menerima, menganalisis, dan mengevaluasi laporan transaksi keuangan mencurigakan. Namun, yang sering luput dari perhatian publik (dan mungkin juga lembaga keuangan), adalah bahwa PPATK tidak memiliki kewenangan langsung untuk memblokir rekening seseorang.

 

Pemblokiran hanya bisa dilakukan oleh penyidik melalui perintah pengadilan atau setidaknya surat resmi dalam proses hukum. Jika benar demikian pemblokiran dilakukan hanya berdasarkan informasi dari PPATK tanpa keterlibatan penegak hukum, maka tindakan itu melanggar prinsip legality of authority bahwa tidak ada satu pun lembaga negara boleh bertindak melebihi kewenangan yang diatur oleh undang-undang.

 

Sedangkan, UU TPPU menyebutkan bahwa transaksi mencurigakan mencakup aktivitas keuangan yang tidak sesuai dengan profil nasabah, tidak punya tujuan ekonomi yang jelas, atau dicurigai sebagai bagian dari upaya menyamarkan asal-usul harta. Sehingga ini menimbulkan pertanyaan bagi publik, apakah tidak bekerja selama 3 bulan cukup untuk dianggap mencurigakan?Jawabanya tentu tidak. 


Di tengah fluktuasi ekonomi, PHK massal, dan krisis pekerjaan, banyak orang yang tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi itu bukan indikator utama kriminalitas. Jika tolak ukurnya melalui rekening bank yang menganggur dijadikan dasar pemblokiran, maka ribuan rakyat kecil yang hidup dari pemasukan tidak tetap seperti ojek online, buruh harian,dan pedagang kecil bisa saja jadi target berikutnya.Tindakan ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga diskriminatif secara sistemik.



Asas Praduga Tak Bersalah dan Hak Milik yang Tercederai Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) adalah bagian inti dari sistem hukum yang demokratis. Tidak boleh ada hukuman, pembatasan, atau stigma tanpa proses hukum yang sah. 


Pemblokiran rekening secara sepihak ini sama dengan menghukum tanpa pengadilan. Kita tidak diberi ruang oleh pihak yang hanya memiliki kewenangan menganalis sepihak dan ini jelas sudah merampas Hak Asasi Manusia yang ada di Negara kita.

 

Dalam buku Politica, Aristoteles menyatakan bahwa negara adalah suatu bentuk komunitas moral, yang bertujuan mewujudkan kehidupan baik (eudaimonia) bagi seluruh warganya. Negara bukan sekadar alat kekuasaan atau sistem kontrol administratif, melainkan harus menjadi wadah pembinaan kebajikan, keadilan, dan kesejahteraan bersama. 


Tentu ini sesuai dengan nilai nilai yang tertera di Pancasila poin ke empat, pemerintah dalam memberikan suatu kebijakan harus berlandaskan dan berangkat dari masyarakat yang rentan atau menengah kebawah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.


Dari perspektif ini, kebijakan pembekuan rekening karena seseorang tidak aktif secara ekonomi selama tiga bulan adalah bentuk penyimpangan moral negara, seharusnya negara membantu warga negara yang rentan, alih-alih memperlakukan mereka dengan dasar kecurigaan sistemik.


Kalo kita bandingkan ke ruang global atau internasional, negara-negara yang menjunjung tinggi prinsip negara hukum tidak akan sembarangan melakukan pembekuan rekening warganya, tanpa adanya penetapan pengadilan atau proses hukum yang transparan. 


Contoh, di Jerman, pembekuan rekening hanya dapat dilakukan dalam proses hukum pidana, itupun atas perintah pengadilan yang memang sudah terbukti jelas melakukan suatu tindak pidana. 


Di Amerika Serikat juga sama, meskipun disana terdapat sistem pelacakan transaksi oleh agen IRS dan FBI, tapi tidak ada rekening rakyat yang dapat dibekukan tanpa court warrant. 


Tidak jauh berbeda dengan Jepang, perbankan disana memiliki standar keamanan tinggi, tetapi penonaktifan rekening hanya dilakukan secara administratif, jika tidak digunakan selama 10 tahun dan tetap bisa digunakankembali.


Sedangkan, jika kita lihat fenomena di indonesia hari ini, tampaknya bergerak ke arah yang lebih ekstrem, di mana algoritma dan kecurigaan mulai mengalahkan konstitusi negara serta akal sehatnya. 


Jika terus kita biarkan, dan tidak dikaji secara mendalam tentu ini dapat membentuk sistem otoritarian digital, di mana hak milik bisa dihapus hanya dengan satu klik server. Eksistensi warga negara ditentukan dengan seberapa sering ia \bergerak\ di sistem. Anda tidak punya penghasilan 3 bulan ? Anda tak layak pegang rekening. Anda jarang belanja online? Anda tak layak dipercaya. 


Ini bukan fiksi distopia, ini adalah kekuasaan yang diserahkan kepada mesin yang tidak punya empati. Ini ancaman nyata bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, ruang gerak masyrakat kita terus di kikis dan dibungkam secara perlahan. Ini sudah menjadi instrumen penindasan administratif negara kita.


Lebih dari itu, hak atas harta kekayaan (termasuk rekening bank) adalah bagian dari hak milik pribadi yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Setiap pembatasan terhadap hak ini hanya bisa dilakukan berdasarkan hukum dan putusan pengadilan. Maka, tindakan pemblokiran tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

 

Menuju Perlindungan Hukum yang Adil, Kasus diatas seharusnya menjadi pengingat bahwa upaya pemberantasan kejahatan keuangan tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip keadilan. 


Negara memang wajib mencegah tindak pidana pencucian uang, tetapi tidak dengan cara membabi buta dan menggeneralisasi rakyat yang tidak memiliki penghasilan tetap sebagai pelaku kriminal potensial.

 

Pertama-tama, mari kita luruskan absurditas utama dalam isu ini: Sejak kapan menjadi pengangguran dianggap sebagai potensi kejahatan keuangan? Apakah seseorang yang sedang mencari pekerjaan, mengurus rumah tangga, atau berjuang menyambung hidup tanpa pekerjaan tetap layak dicurigai sebagai pelaku kejahatan pencucian uang? Logika ini tidak hanya janggal, tetapi berbahaya.

 

Negara menyamakan kemiskinan dengan kriminalitas, dan itu adalah bentuk kekerasan struktural. Negara yang Paranoid terhadap Rakyatnya ini semakin tampak sebagai entitas yang tidak percaya pada warganya sendiri. Warga yang tidak bertransaksi dianggap mencurigakan. Yang tidak punya penghasilan tetap dianggap menyembunyikan sesuatu. Ini adalah bentuk paranoia institusional yang merusak prinsip dasar demokrasi dan asas legalitas hukum: “Presumption of innocence” bahwa setiap orang dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan sebaliknya.

 

Lembaga intelijen keuangan seperti PPATK memang memiliki mandat mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme. Tapi ketika kewenangan itu dipakai untuk mengintai kehidupan ekonomi rakyat kecil—bukan bandar narkoba, bukan oligarki korup, tapi justru pengangguran—maka yang rusak bukan hanya prioritas, tapi juga etika bernegara.

 

Pemerintah melalui OJK dan Bank Indonesia perlu menegur dan mengevaluasi kebijakan lembaga keuangan yang tunduk begitu saja terhadap rekomendasi pemblokiran tanpa landasan hukum yang kuat. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap sistem perbankan dan negara hukum akan terus tergerus, dan masyarakat nantinya akan memboikot semua kebijakan pemerintah terutama di dalam bidang perbankan ini.

 

PPATK sendiri perlu diingat bahwa tugas institusi tersebut adalah menganalisis, bukan menghakimi. Negara ini menjunjung tinggi hukum, bukan kecurigaan.

Ketika ATM diblokir hanya karena seseorang menganggur, maka kita sebaga warga negara patut bertanya, apakah ini negara hukum atau negara curiga? Jangan sampai sistem yang seharusnya melindungi justru menindas mereka yang paling rentan. 


Penulis: Khosi'in

(Kader HMI Cakraningrat Cabang Bangkalan)

 



 


 


Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis