Dalam tradisi politik kita, angka seratus biasanya dianggap sebagai simbol awal periode pembuktian, masa transisi menuju kerja nyata.
KOMUNALIS.COM, OPINI - Dalam tradisi politik kita, angka seratus biasanya dianggap sebagai simbol awal periode pembuktian, masa transisi menuju kerja nyata. Tapi nyatanya, transisi itu tampaknya masih tersesat di jalan berlubang. Di media sosial, suara-suara warga terus bergema: tentang banjir yang datang tak pernah diundang, jalan desa yang lebih mirip arung jeram daripada infrastruktur, dan arah pembangunan yang masih sebatas wacana. Padahal Bupati kita, Pamekasan sudah lebih seratus hari semenjak dilantik.
Tak sedikit warga yang akhirnya memperbaiki jalan sendiri, bukan karena mereka kebanyakan waktu luang, tapi karena negara yang seharusnya hadir sebagai pelayan public justru absen dalam urusan mendasar. Ini bukan cerita heroik tentang gotong royong, tapi kisah ironi tentang minimnya kepekaan kebijakan.
Pemimpin seharusnya bukan hanya hadir saat pelantikan atau memotong pita, tetapi justru ada di titik paling dekat dengan denyut kebutuhan rakyat.
Menariknya, pembelajaran tentang membangun kota tak melulu harus dari buku tebal atau seminar birokrasi. Cobalah sesekali menengok potret kota seperti Cities Skylines. Di sana, tugas kita sebagai pemimpin kota tidak hanya mengatur anggaran dan membangun jembatan. Kita dituntut untuk berpikir sistemik, dari zonasi kota, efisiensi transportasi, pengelolaan limbah, hingga kebahagiaan warga virtual. Iya, bahkan warga virtual pun bisa marah kalau pemimpinnya tidak peka.
Sebagai kader HMI yang tumbuh dan berkembang di kota Pamekasan, kami diajarkan untuk bertindak solutif, membumikan nilai Islam dalam kerja-kerja sosial, dan tentu saja, menjadi mitra kritis. Kalau sebuah game saja bisa mengajarkan teknokrasi dengan intuisi, mengapa dalam pemimpin justru gagap pada kenyataan?
Kita bukan menuntut hal yang muluk. Kita hanya ingin pemimpin yang bisa melihat bahwa banjir dan jalan rusak adalah sinyal alarm, bukan sekadar noise yang bisa di-mute dengan seremoni dan baliho.
Membangun kota tidak diukur dari seberapa besar proyek yang diresmikan. Tapi dari seberapa kecil keresahan warga yang didengarkan dan diselesaikan. Kota yang beradab bukan lahir dari rancangan mewah, tapi dari kepekaan terhadap kenyataan yang sering luput dari agenda rapat.
Kami di HMI, dan saya sebagai individu khususnya, selalu percaya bahwa tugas pemimpin adalah memfasilitasi kesejahteraan.
Tugas kami menjadi suara pengingat, baik saat pemimpin semangat bekerja, maupun saat mereka terlalu sibuk membangun panggung.
Karena kami, tak seperti baliho, tetap bertahan meski angin politik berubah arah.
Oleh: Subhal Jamil
(Ketua Umum HMI Cabang Pamekasan)
Recommended Post
Leave a Comment