Juli 24, 2025

Paradoks Hukum: Antara Palu Hakim dan Palu Tukang

July 21, 2025
2Min Reads
13 Views

Dalam diskursus kenegaraan dan filsafat hukum, hukum selalu diposisikan sebagai entitas agung lex suprema est salus populi, bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Hukum adalah mahkota peradaban, dan hakim adalah tangan Tuhan di muka bumi. Namun, dalam kenyataan empiris, hukum acapkali mengalami reduksi makna, hingga jatuh dalam ranah simbolik semata. Ia tak lagi agung sebagai pilar keadilan, melainkan sekadar instrumen formalistik yang mudah dibengkokkan sesuai kepentingan yang dominan. Di sinilah lahir sebuah paradoks: antara palu hakim sebagai lambang keadilan tertinggi, dan palu tukang sebagai metafora banalitas kuasa yang manipulatif. (Foto/Istimewa)

KOMUNALIS.COM, OPINI - Dalam diskursus kenegaraan dan filsafat hukum, hukum selalu diposisikan sebagai entitas agung lex suprema est salus populi, bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Hukum adalah mahkota peradaban, dan hakim adalah tangan Tuhan di muka bumi. Namun, dalam kenyataan empiris, hukum acapkali mengalami reduksi makna, hingga jatuh dalam ranah simbolik semata. Ia tak lagi agung sebagai pilar keadilan, melainkan sekadar instrumen formalistik yang mudah dibengkokkan sesuai kepentingan yang dominan. Di sinilah lahir sebuah paradoks: antara palu hakim sebagai lambang keadilan tertinggi, dan palu tukang sebagai metafora banalitas kuasa yang manipulatif.


Palu hakim semestinya mengetuk putusan dengan nurani, integritas, dan supremasi hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law. Namun dalam praktiknya, palu tersebut sering kali justru menjadi instrumen legalisasi atas keputusan yang telah dikondisikan. Ia tidak lagi mengetuk berdasarkan fakta hukum dan kebenaran substantif, melainkan tunduk pada rekayasa narasi, tekanan politis, atau aliran patronase kekuasaan. Dalam kondisi demikian, palu hakim kehilangan otoritas moralnya ia masih terdengar nyaring, namun hampa makna.


Sebaliknya, palu tukang, yang dalam terminologi masyarakat adalah alat untuk membentuk, memaku, atau merombak, kini menjadi alegori ironis bagi proses “pembentukan” hukum itu sendiri. Regulasi dibuat bukan karena kebutuhan akan keadilan, melainkan demi memaku kepentingan jangka pendek, membangun legitimasi semu, dan merombak tatanan hukum agar sesuai dengan kehendak elit. Hukum diperlakukan layaknya papan proyek: bisa dipotong, dipaku, dan dibentuk sesuai pesanan. Maka tak heran jika kita sering mendapati regulasi yang multitafsir, kontradiktif, dan sarat kompromi politik. Dalam konstruksi seperti itu, hukum lebih menyerupai produk tukang bangunan daripada hasil deliberasi agung para negarawan.


Paradoks ini tak sekadar konseptual, melainkan nyata dalam berbagai peristiwa kontemporer. Bagaimana mungkin suatu keputusan hukum bisa berubah drastis hanya karena perubahan aktor politik? Mengapa interpretasi terhadap norma hukum menjadi lentur ketika yang dihadapkan adalah pihak yang memiliki kuasa? Mengapa independensi yudisial terus digerogoti oleh mekanisme administratif dan tekanan institusional? Semua ini mengarah pada satu kesimpulan menyedihkan: palu hakim semakin menyerupai palu tukang, dan hukum kehilangan wibawa ontologisnya.


Ironi terbesar dari semua ini adalah bahwa masyarakat tidak lagi memandang hukum sebagai ruang perlindungan, melainkan sebagai panggung sandiwara. Legitimasi sosial terhadap hukum mengalami erosi yang tajam. Dalam benak publik, hukum bukan lagi simbol keadilan, melainkan alat pelanggeng dominasi. Padahal, dalam sebuah negara hukum yang sehat, kepercayaan terhadap sistem yudisial merupakan conditio sine qua non bagi kelangsungan demokrasi itu sendiri.


Untuk keluar dari paradoks ini, dibutuhkan rekonstruksi mendasar terhadap etika hukum dan moralitas institusional. Hakim bukan sekadar juru tafsir undang-undang, melainkan penjaga muruah keadilan. Palu yang mereka genggam bukan alat administratif, tetapi simbol sakral dari perintah moral dan konstitusional. Maka, setiap ketukan palu hakim semestinya menggema sebagai suara hati rakyat, bukan gema dari ruang kekuasaan.


Jika tidak, kita hanya akan menyaksikan hukum dipalu bukan untuk menegakkan keadilan, tetapi untuk memaku kepentingan.


Penulis:

Amiruddin

(Ketua Umum HMI Komisariat Hukum Cabang Kota Bogor)


Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis