Angka partisipasi ini jauh di bawah partisipasi pemilih saat Pemilu 2024 lalu. Pada Pemilu 2024, tingkat partisipasi pemilih mencapai 81,78 persen (Foto/Tempo)
KOMUNALIS.COM, POLITIK - Anggota KPU, August Mellaz, menuturkan, data KPU sementara menunjukkan tingkat partisipasi pemilih di pilkada serentak 2024 secara nasional di bawah 70 persen. Angka partisipasi ini jauh di bawah partisipasi pemilih saat Pemilu 2024 lalu. Pada Pemilu 2024, tingkat partisipasi pemilih mencapai 81,78 persen.
Menurut Mellaz, berdasarkan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU dengan 98,5 persen data yang masuk, ditemukan tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada serentak 2024 hanya 68,16 persen. Partisipasi pemilih pada Pilkada Sumatera Utara hanya 55,6 persen, sedangkan Pilgub Jakarta hanya 57,6 persen.
Mellaz menjelaskan, upaya sosialisasi KPU untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pilkada tak berbeda ketika sosialisasi pileg atau pilpres. Karena itu, temuan partisipasi pilkada yang rendah itu akan menjadi evaluasi bagi KPU. Evaluasi itu akan dilakukan setelah semua tahapan penyelenggaraan pilkada serentak 2024 selesai.
Di mana saja daerah yang angka golput tinggi? Apa penyebabnya?
Pemilih golput atau pemilih yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya di Pilkada 2024 terindikasi tinggi.
Berdasarkan pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), terdapat sejumlah daerah dengan partisipasi pemilih yang rendah dalam Pilkada 2024 seperti di Tambora, Jakarta Barat, dan Bandung, Jawa Barat, di mana jumlah pemilih yang menggunakan suaranya kurang dari 50 persen.
Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 di Sumatera Barat juga relatif rendah dibandingkan dengan Pilpres 2024. Tingkat partisipasi pemilih di daerah ini sekitar hanya separuh dari daftar pemilih tetap (DPT).
Ada beberapa faktor utama yang memengaruhi rendahnya angka partisipasi publik di pemilu ataupun pilkada, yakni penyelenggaraan Pilkada 2024 yang berdekatan dengan Pemilu 2024, durasi kampanye kandidat pilkada yang singkat, dan rendahnya pengenalan pasangan calon kepala daerah kepada publik.
Golput tinggi di pilkada bercalon tunggal, mengapa?
Calon tunggal di Pilkada Surabaya, Gresik, Ngawi, Trenggalek, dan Kota Pasuruan di Jawa Timur mengklaim unggul atas kotak kosong versi hitung cepat internal. Namun, keunggulan atas kotak kosong itu diwarnai partisipasi rendah pemilih dalam pemungutan suara.
Menurut dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga Ucu Martanto, partisipasi pilkada ini cenderung rendah, terutama karena publik merasa letih atau jengah serta kurang mendapat informasi. ”Letih karena situasi sosial belum pulih setelah ketegangan di tingkat nasional terkait pemilu dan pilpres,” ujarnya.
Konfigurasi politik di tingkat nasional ternyata berbeda dengan di daerah. Dalam pilpres, ada tiga kubu sesuai jumlah kontestan. Di lima kabupaten/kota di Jatim dengan calon tunggal, kubu-kubu itu justru bersatu untuk melanggengkan kekuasaan petahana melawan kotak kosong.
”Secara psikologis ada kebingungan di kalangan pemilih mengapa konfigurasi politik bisa berbeda dan mungkin berpengaruh terhadap pilihan saat pilkada,” kata Ucu.
Apakah tingginya golput juga karena parpol tidak menyodorkan calon yang sesuai aspirasi masyarakat?
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, melihat ada kontribusi partai politik (parpol) di balik tingginya angka golput. Tingginya pemilih golput bisa jadi sinyal kandidat yang diusung partai tidak selaras dengan aspirasi publik. Mereka melihat kandidat yang diusung tidak representatif.
Untuk itu, Pilkada 2024 seharusnya menjadi pelajaran dan bahan evaluasi bagi parpol. Dalam menentukan dan menjaring kandidat kepala daerah, parpol harus melakukannya dari akar rumput. Secara perlahan, langkah itu bakal mengakomodasi kepentingan politik dan representasi masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno berpandangan, tingginya angka golput publik tak terlepas dari pilkada yang merupakan rangkaian terakhir dari pesta demokrasi. Perhatian publik terhadap pilkada menjadi lebih sedikit ketimbang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.
Khusus di Pilkada Banjarbaru, jumlah suara tak sah lebih besar dari raihan suara calon, mengapa?
Pilkada Banjarbaru hanya diikuti satu pasangan calon bupati/wakil bupati, Erna Lisa Halaby dan Wartono, setelah Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah didiskualifikasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) karena dianggap melakukan pelanggaran administratif. Dalam pemungutan suara yang digelar, Kamis (27/11/2024), jika masih ada yang mencoblos gambar Aditya-Said di surat suara, dianggap sebagai suara tidak sah.
Imbas dari hal itu, berdasarkan hasil penghitungan suara oleh Gerakan Masyarakat Peduli Demokrasi (GMPD) Banjarbaru, perolehan suara tidak sah di Pilkada Banjarbaru mencapai 78.807 suara atau 68,6 persen. Sementara perolehan suara pasangan Lisa-Wartono hanya 36.113 suara atau 31,4 persen dari total 114.920 suara.
Pengajar Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, saat dihubungi, Jumat (29/11/2024), mengatakan, kebijakan KPU tidak menyediakan opsi kolom kosong bagi pemilih di Banjarbaru melawan perintah Pasal 54 C Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal tersebut mengatur tentang kewajiban menyediakan kolom kosong, terutama jika ada calon yang didiskualifikasi sehingga pilkada hanya diikuti satu pasangan calon. (Red/Kompas)
Recommended Post
Kemenham Dorong Daerah Lebih Serius Tegakan HAM
Leave a Comment