Penangkapan Hasto Kristiyanto, mantan Sekretaris Jenderal PDI-P, oleh KPK menjadi contoh konkret fenomena "koruptor tersenyum". (Foto/Istimewa)
KOMUNALIS.COM, OPINI - Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang menghambat kemajuan Indonesia. Ironisnya, di negeri ini, para koruptor seolah tidak pernah benar-benar merasakan akibat dari kejahatan mereka. Alih-alih menanggung malu dan menyesali perbuatannya, banyak dari mereka justru tetap tersenyum di depan kamera, bahkan setelah terbukti bersalah. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Pertama, sistem hukum yang lemah menjadi penyebab utama. Banyak kasus korupsi yang berakhir dengan hukuman ringan, bahkan ada yang mendapat remisi berkali-kali. Hukuman yang seharusnya menjadi efek jera justru terasa seperti sekadar formalitas. Ditambah lagi, ada fenomena istimewa di mana para koruptor bisa menikmati fasilitas mewah di dalam tahanan, lengkap dengan kamar luas, pendingin ruangan, hingga akses komunikasi yang bebas.
Kedua, budaya permisif dalam masyarakat turut andil. Tidak jarang kita melihat para koruptor tetap mendapat penghormatan dan perlakuan istimewa dari lingkungan sekitarnya. Mereka tetap dielu-elukan, dijenguk oleh pejabat tinggi, bahkan ada yang masih bisa berpolitik atau menjalankan bisnisnya dari balik jeruji. Sebagian masyarakat pun masih memiliki mentalitas 'asal bukan keluarga saya' atau 'dia juga berbagi hasil', yang membuat korupsi dianggap bukan kejahatan besar.
Ketiga, sistem politik yang korup juga mendukung lahirnya kembali para koruptor ke panggung kekuasaan. Banyak mantan napi korupsi yang masih bisa mencalonkan diri dalam pemilu dan, ironisnya, tetap mendapatkan dukungan dari masyarakat. Ini menunjukkan betapa lemahnya kesadaran politik dan etika dalam demokrasi kita.
Penangkapan Hasto Kristiyanto, mantan Sekretaris Jenderal PDI-P, oleh KPK menjadi contoh konkret fenomena “koruptor tersenyum” yang sudah terlalu sering kita saksikan. Pada tanggal 20 Februari 2025, Hasto terlihat mengenakan rompi oranye KPK dengan ekspresi wajah yang mengejutkan publik – bukannya tertunduk malu, ia justru tersenyum lebar, mengacungkan kepalan tangan, dan berteriak “Merdeka” di hadapan media.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas.com, Hasto diduga terlibat dalam kasus suap dan penggelapan dana partai bernilai miliaran rupiah. Investigasi KPK mengungkap adanya aliran dana tidak wajar ke rekening pribadi dan keluarganya selama menjabat sebagai Sekjen partai. Dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan partai dan konstituen justru dialihkan untuk kepentingan pribadi.
Juru Bicara KPK, Fitri Handayani, dalam keterangan persnya menyatakan, “Penangkapan tersangka HK merupakan hasil pengembangan kasus yang telah kami selidiki selama enam bulan terakhir. Kami memiliki bukti kuat tentang keterlibatan tersangka dalam pengalihan dana partai sebesar Rp 15 miliar untuk kepentingan pribadi,”.
Namun, sikap Hasto saat penangkapan justru menambah daftar panjang potret miris penegakan hukum di Indonesia. Teriakan “Merdeka” yang ia kumandangkan seolah menegaskan betapa ringannya beban psikologis yang ia tanggung meski terancam hukuman berat. Sikap ini juga mencerminkan keyakinan bahwa sistem hukum tidak akan benar-benar menghukumnya secara setimpal.
PDI-P, melalui juru bicaranya Ahmad Basarah, menyatakan akan menghormati proses hukum yang berjalan. “Kami percaya pada asas praduga tak bersalah dan akan memberikan dukungan hukum kepada kader kami,” ujarnya dalam konferensi pers. Pernyataan ini semakin menguatkan pandangan bahwa koruptor masih mendapat perlindungan dari lingkaran terdekatnya.
Di media sosial, foto Hasto tersenyum dengan rompi oranye menuai kecaman luas. Salah satu warganet dengan username @selaludisana berkomentar, “Bukan merdeka pak hasto, tapi mau di penjara,, nah kalau sudah bebas baru bilang merdeka.” Komentar ini mewakili kekesalan publik terhadap sikap para tersangka korupsi yang seringkali tidak menunjukkan penyesalan.
Kasus Hasto bukanlah yang pertama. Sebelumnya, kita telah menyaksikan bagaimana Setya Novanto, Nazaruddin, Djoko Tjandra, dan puluhan koruptor lainnya menampilkan ekspresi yang sama – tersenyum, melambai, bahkan berpose untuk foto seperti selebriti. Beberapa bahkan memberikan komentar santai kepada wartawan seolah mereka sedang menghadiri acara penghargaan, bukan proses hukum atas dugaan kejahatan korupsi.
Fenomena ini semakin diperparah dengan perlakuan istimewa di dalam tahanan. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya 40% narapidana korupsi mendapatkan fasilitas khusus selama masa penahanan, mulai dari kamar berpendingin udara hingga akses komunikasi bebas dan makanan dari luar. Tidak heran jika mereka tersenyum – bagi mereka, penjara hanyalah “istirahat sejenak” dari aktivitas koruptif.
Jika ingin perubahan nyata, harus ada reformasi sistem hukum yang lebih tegas, serta kesadaran kolektif masyarakat untuk menolak koruptor dalam segala bentuknya. Beberapa langkah konkret yang bisa diambil:
1. Pengetatan hukuman tanpa remisi untuk kasus korupsi nilai besar
2. Penghapusan fasilitas istimewa di lembaga pemasyarakatan
3. Larangan permanen bagi koruptor untuk memegang jabatan publik
4. Pembentukan mekanisme pemantauan aset koruptor selama dan setelah masa hukuman
5. Pendidikan antikorupsi sejak dini untuk mengubah persepsi masyarakat
Tanpa reformasi menyeluruh ini, para koruptor akan terus tersenyum, sementara rakyat tetap menderita akibat ulah mereka. Kasus Hasto Kristiyanto seharusnya menjadi momentum untuk introspeksi nasional dan tekad baru memerangi korupsi hingga ke akar-akarnya.
Penulis:
Ahmad Rifaldi Mustamin
(Ketua Umum Pemuda Indonesia Center)
Recommended Post
Kemenham Dorong Daerah Lebih Serius Tegakan HAM
Leave a Comment