Juni 03, 2025

Menakar Kepemimpinan Prabowo: Antara ambisi dan Realitas Kebijakan

February 21, 2025
4Min Reads
145 Views

Apakah Presiden Republik Indonesia kedelapan bersedia menjadi bagian dari pemimpin yang tidak hanya berhenti pada darma baktinya, tetapi benar-benar membawa perubahan? (Foto/Instagram: @prabowo)

KOMUNALIS.COM, OPINI - Sudah 79 tahun negeri ini tumbuh dan berkembang, melalui perjuangan yang tidak sedikit pengorbanannya. Bukanlah waktu yang singkat jika kita melihat bahwa kemerdekaan republik ini sudah mendekati usia satu abad. Darah para pejuang kemerdekaan telah tumpah di tanah yang seharusnya menjadi tempat berlindung di hari tua. Harapan akan kehidupan yang sejahtera, pendidikan yang layak, pengentasan kemiskinan, serta peningkatan mutu sumber daya manusia selalu menjadi impian sejak lama.


Bangsa ini terlalu besar jika kita ingin menilik lebih dalam hingga ke pelosok desa. Tidak semua orang memiliki akses internet seperti saat ini, tidak semua dapat menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi, dan tidak sedikit yang harus merantau ke kota-kota besar karena minimnya lapangan pekerjaan di daerah mereka. Lantas, apakah dari tujuh pemimpin negeri ini, ada yang telah benar-benar menyelesaikan setiap permasalahan bangsa? Apakah Presiden Republik Indonesia kedelapan bersedia menjadi bagian dari pemimpin yang tidak hanya berhenti pada darma baktinya, tetapi benar-benar membawa perubahan?


Tahun 2024 menjadi momen krusial ketika bangsa ini menaruh nasibnya pada sistem demokrasi elektoral melalui pemilihan umum (Pemilu), khususnya dalam memilih presiden yang akan meneruskan estafet kepemimpinan. Singkatnya, terpilihlah Prabowo Subianto, seorang mantan Letnan Jenderal TNI yang pernah memimpin pasukan Kopassus. Namanya sudah tak asing bagi masyarakat. Bagaimana tidak? Anak dari Soemitro Djojohadikoesoemo ini telah berkali-kali mencalonkan diri sebagai presiden sejak 2004. Jelas, ini bukan sekadar ambisi kecil—ia harus menunggu 20 tahun hingga akhirnya berhasil menduduki kursi kepresidenan pada tahun 2024.


Namun, sangat disayangkan, ambisi besar itu seakan hanya menjadi sekadar ambisi tanpa banyak belajar dari para pemimpin sebelumnya. Prabowo justru membuat kebijakan yang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Ia bermimpi besar untuk memberi makan rakyat Indonesia di tengah ketimpangan sosial yang masih nyata. Sementara itu, kemiskinan ekstrem justru meningkat, dan jumlah anak-anak yang putus sekolah bertambah. Apa yang sebenarnya direncanakan Prabowo? Apakah ini sungguh mimpi mulia atau hanya sekadar upaya memenuhi janji kampanye?


Tokoh bangsa Mohammad Natsir (1908–1993) pernah menggambarkan bahwa akan datang masa di mana situasi politik dan kebangsaan menjadi begitu pelik dan menyulitkan. Ada tiga tanda utama yang ia sebutkan:


Pertama, melunturnya idealisme dan merajalelanya nafsu akan materi yang rendah dan kasar dalam berbagai bentuknya. Kita bisa berkaca pada lima tahun terakhir, di mana nafsu akan kekuasaan dan materi begitu mengakar dalam perpolitikan Indonesia. Kasus korupsi yang menjerat beberapa menteri di era Jokowi seharusnya menjadi pelajaran bagi Prabowo. Kabinet yang gemuk bukanlah keuntungan praktis dalam mengatur sektor-sektor yang ada, tetapi justru menjadi tantangan besar karena semakin banyak “tikus berdasi” yang memiliki wadah untuk meraup keuntungan.


Sayangnya, saat perayaan HUT ke-17 Partai Gerindra, Prabowo seolah tidak menggubris kritik tersebut. Ia justru membandingkan Indonesia dengan Timor Leste, sebuah negara yang baru berkembang, dan memperlihatkan gestur tubuh yang mengisyaratkan ketidakpeduliannya terhadap kritik publik.


Kedua, kaburnya batas antara yang patut dan tak patut. Pelanggaran batas ini dilakukan dengan cara yang sinis, seakan merendahkan prinsip moral dan etika. Contohnya adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2024 yang tampak tunduk pada kepentingan Jokowi demi meloloskan anaknya sebagai cawapres Prabowo. Intrik politik semacam ini begitu terasa di sekitar kita. Ditambah lagi, dalam 100 hari pertama pemerintahannya, kabinet gemuk yang dipimpin Prabowo menghadapi banyak persoalan. Ia memangkas anggaran sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan, menjadikannya sekadar prioritas pendukung, bukan utama.


Ketiga, kaburnya nilai-nilai keadilan yang objektif, sehingga hitam menjadi putih dan putih menjadi hitam. Prabowo ingin pemerataan hak bagi seluruh anak Indonesia dengan kebijakan makan siang gratis. Namun, ia tidak mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh. Efisiensi anggaran yang diterapkan justru menyebabkan banyak pekerja kehilangan pekerjaan. Anak-anak mungkin bisa menikmati makanan bergizi, tetapi di sisi lain, ayah mereka pulang dengan wajah muram karena kehilangan pekerjaan dan tak tahu bagaimana cara mencari nafkah.


Kepemimpinan adalah amanah besar, bukan sekadar ajang untuk memenuhi ambisi pribadi. Prabowo memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa ia bukan hanya sekadar presiden ke-8, tetapi juga pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, kebijakan awalnya menunjukkan bahwa ia belum mampu melihat permasalahan bangsa secara holistik. Kebijakan yang tampak baik di permukaan bisa saja menimbulkan kesenjangan baru jika tidak disertai dengan solusi menyeluruh.


Sebagai pemimpin, Prabowo seharusnya lebih peka terhadap suara rakyat dan kritik yang membangun. Ia harus belajar dari kesalahan para pemimpin sebelumnya agar tidak terjebak dalam kesalahan yang sama. Momen ini adalah ujian baginya—apakah ia akan menjadi pemimpin yang meninggalkan warisan baik bagi negeri ini, atau hanya menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan yang terus berulang?


Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani mendengar, berani berbenah, dan berani menegakkan keadilan. Seperti yang pernah disampaikan Mohammad Natsir, jangan sampai batas antara yang patut dan tak patut semakin kabur, sehingga rakyat hanya menjadi penonton dalam permainan politik yang tidak berpihak pada mereka.


Penulis:

Muhammad Zidan Ramdani

Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis