Mei 08, 2025

Operasi Buzzer Rp864 Juta untuk Hancurkan Kejagung?

May 08, 2025
5Min Reads
15 Views

Penangkapan Adhiya Muzakki oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menjadi babak baru dalam penanganan perkara perintangan penyidikan sejumlah kasus besar di Kejaksaan Agung. (Foto/Kejaksaan Agung RI)

KOMUNALIS.COM - BERITA - Penangkapan Adhiya Muzakki oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menjadi babak baru dalam penanganan perkara perintangan penyidikan sejumlah kasus besar di Kejaksaan Agung. Sosok yang dikenal sebagai mantan Ketua Umum Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jabodetabeka-Banten itu kini mendekam di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung setelah ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu malam (7/5/2025).


M Adhiya Muzakki bukan hanya tokoh di balik layar dunia digital, melainkan diduga menjadi arsitek dari upaya sistematis untuk melemahkan kredibilitas institusi penegak hukum lewat serangan narasi di ruang publik. Ia disebut berperan dalam membentuk dan mengendalikan operasi siber skala besar yang tujuannya membentuk opini negatif terhadap Kejaksaan Agung.


Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Adhiya menjadi bagian dari dugaan pemufakatan jahat bersama tiga tersangka lain, yakni advokat Marcella Santoso (MS), Junaedi Saibih (JS), dan Direktur Pemberitaan nonaktif JAK TV, Tian Bahtiar (TB). Ketiganya lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama.


“Menetapkan satu tersangka, inisial MAM selaku ketua Tim Cyber Army,” kata Qohar dalam konferensi pers di Lobi Gedung Bundar Jampidsus, dikutip dari Kompas.


Dari hasil penyidikan, terungkap bahwa Adhiya Muzakki tidak hanya menjadi dalang strategi komunikasi negatif, tetapi juga mengatur pembentukan lima tim siber beranggotakan 150 orang buzzer. Tim-tim ini diberi nama Mustafa 1 hingga Mustafa 5, dan masing-masing memiliki tugas khusus untuk menyebarkan serta mengomentari konten negatif yang dibuat oleh Tian Bahtiar.


“(Adhiya) Merekrut, menggerakkan, dan membayar buzzer-buzzer tersebut dengan bayaran sekitar Rp 1,5 juta per buzzer untuk merespon dan memberikan komentar negatif terhadap berita-berita negatif,” ujar Qohar.


Adapun konten-konten tersebut diarahkan untuk menyerang kredibilitas Kejaksaan Agung dan merusak citra para penyidik yang tengah menangani perkara besar. Langkah ini, dalam konteks hukum, dinilai sebagai bentuk perintangan terhadap proses penyidikan, yang secara spesifik menyasar pada tiga perkara penting, yaitu dugaan korupsi di PT Timah, impor gula, dan suap ekspor crude palm oil (CPO).


Peran Adhiya Muzakki dalam struktur operasi ini sangat strategis. Ia tidak hanya menyusun narasi, tetapi juga mengorganisir tim, mengatur distribusi konten, hingga mengelola sistem pembayaran para buzzer. Uang senilai Rp 864,5 juta diduga mengalir kepadanya sebagai imbalan atas kampanye digital negatif yang dilancarkan secara sistematis.


Qohar menjelaskan bahwa kesepakatan untuk membentuk pasukan siber ini dimulai atas permintaan dari Marcella Santoso.


“Tersangka MAM atas permintaan MS bersepakat untuk membuat tim cyber army untuk menjadi lima tim yang (anggotanya) berjumlah sekitar 150 orang buzzer,” kata Qohar.


Penetapan Adhiya sebagai tersangka merupakan hasil pengembangan dari penyidikan terhadap MS, JS, dan TB, yang kini sedang menjalani proses hukum dalam kasus suap penanganan perkara ekspor CPO di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat.


Secara hukum, Adhiya dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Penahanan selama 20 hari ke depan dilakukan untuk memperdalam proses penyidikan.


Namun, penetapan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka dalam kasus ini menuai kritik dari berbagai kalangan. Dewan Pers menegaskan bahwa penilaian terhadap suatu karya jurnalistik merupakan kewenangan mereka, dan meminta Kejaksaan Agung untuk menghormati proses tersebut.


Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyatakan, “Dewan Pers meminta setiap lembaga, kalau memang ada bukti yang cukup bahwa kasus tersebut terkait dengan tindak pidana, maka ini adalah kewenangan penuh dari Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti prosesnya. Dewan Pers tentu tidak ingin menjadi lembaga yang cawe-cawe terhadap proses hukum,” ujarnya.


Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, juga mempertanyakan penerapan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tian Bahtiar. Ia berpendapat bahwa pemberitaan, meskipun negatif, belum tentu memenuhi ketentuan pasal tersebut.


“Apakah dengan opini yang negatif itu kemudian proses penegakan hukum di tahap penyidikan, misalnya, kemudian menjadi dirintangi, menjadi gagal? Saya melihat ini agak jauh ketika ini kemudian dijerat menggunakan obstruction of justice,” kata Zaenur.


Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai bahwa langkah Kejaksaan Agung dalam menjadikan produk jurnalistik sebagai barang bukti melangkah terlalu jauh dan dapat melanggar Undang-Undang Pers. Sementara itu, Indonesia Police Watch (IPW) mengecam tindakan tersebut sebagai penyalahgunaan kewenangan yang mengancam kebebasan pers dan iklim demokrasi di Indonesia.


Dalam menanggapi kritik tersebut, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menegaskan bahwa pihaknya tidak anti terhadap kritik media.


“Kejaksaan tidak pernah anti kritik. Itu harus digarisbawahi. Bahkan kita selalu menjadikan media tempat untuk bertanya dan merefleksi diri,” ujarnya, dikutip dari Disway.


Kasus ini menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam, yaitu apakah Kejaksaan Agung tidak pantas dikritik? Dalam iklim demokrasi yang sehat, sekuat dan sepenting apapun lembaga penegak hukum tetap harus terbuka terhadap pengawasan publik, termasuk kritik. Kritik yang disampaikan secara terbuka dan berlandaskan data merupakan bagian dari mekanisme checks and balances yang menjadi ciri negara hukum.


Namun dalam konteks perkara ini, yang menjadi sorotan bukanlah kritik sebagai wujud kontrol publik, melainkan serangan naratif yang dilakukan secara sistematis, terkoordinasi, dan dibayar, dengan tujuan untuk menghalangi penegakan hukum. Serangan tersebut bukan berasal dari individu yang mengemukakan opini, melainkan dari jaringan buzzer yang diarahkan untuk menyebar konten tendensius dengan motif tertentu.


Dengan kata lain, garis batas antara kritik yang sah dan tindakan perintangan hukum menjadi sangat krusial. Kejaksaan Agung, seperti lembaga lainnya, tentu bisa dan seharusnya dikritik apabila ada dugaan penyalahgunaan wewenang atau proses hukum yang tidak adil. Namun ketika opini dibentuk melalui rekayasa informasi dan disebar oleh “tentara siber” yang dibiayai untuk menggiring persepsi publik demi mengamankan kepentingan tersangka kasus korupsi, maka konteksnya berubah menjadi obstruksi terhadap keadilan.


Keterlibatan mantan pimpinan organisasi kemahasiswaan besar seperti HMI dalam kasus ini menambah dimensi politik dan sosial dari perkara yang tengah bergulir. Dari figur yang pernah mengusung nilai-nilai perjuangan mahasiswa, kini Adhiya berada di sisi berlawanan hukum, menjadi sorotan dalam salah satu operasi siber paling sistematis yang pernah diungkap oleh Kejagung. (Rama/Red)

Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis