“Dengan berat hati mengumumkan pameran Yos Suprapto terpaksa ditunda karena kendala teknis,” kira-kira seperti itu keterangan Galeri Nasional di laman Instagram.
“Dengan berat hati mengumumkan pameran Yos Suprapto terpaksa ditunda karena kendala teknis,” kira-kira seperti itu keterangan Galeri Nasional di laman Instagram. Pernyataan ini menjadi catatan sejarah yang perlu di ingat oleh masyarakat, bahwasanya ini menjadi pembredelan baru di awal pemerintahan baru.
Data dari Koalisi Seni - sebuah lembaga yang mendokumentasikan pelanggaran kebebasan berkesenian di Indonesia - menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir terjadi 10-50 lebih kasus pelanggaran kebebasan berkesenian, dengan 44 kasus tercatat sepanjang tahun 2024.
Pembredelan karya seni adalah tindakan menghentikan atau melarang penyebaran, pameran atau ekspresi seniman dengan berbagai dalih. Alasannya beragam, mulai dari tuduhan penistaan agama atau kepercayaan, pelanggaran norma sosial, hingga muatan SARA dan hal-hal lain yang dianggap memiliki konotasi negatif. Manifestasi pembredelan ini muncul dalam berbagai bentuk, seperti larangan pameran, penarikan dari peredaran, penghentian produksi, dan sensor.
Padahal, karya seni merupakan hasil ekspresi kreatif individu atau kelompok yang memiliki nilai estetika, emosional, dan intelektual, yang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, ekonomi, maupun politik karena merupakan representasi linear antara ”realitas” dengan keresahan yang diwujudkan lewat karya oleh ”seniman”. Terlebih karya seni seringkali menjadi instrumen kritik yang ampuh untuk mengomentari keadaan sosial sekaligus menjadi alat aktivisme dalam mengadvokasi perubahan sosial dan politik.
Dalam kaitan nya, penguasa seharusnya menyadari bahwasanya pembredelan yang terus terjadi dan masih di lakukan menimbulkan problematika tersendiri dalam dunia seni, mengingat dalam perspektif artistik; semua hal bersifat subjektif, termasuk penilaian tentang benar dan salah atau baik dan buruk.
Secara konsepsi, pembredelan merupakan manifestasi upaya penguasa untuk melanggengkan status quo. Hal ini lumrah dilakukan melalui dua mekanisme: Pertama, pembatasan kebebasan berekspresi melalui karya seni. Dengan membatasi karya seni yang dianggap mengancam status quo, penguasa berupaya meredam kritik, kebijakan alternatif, atau bentuk-bentuk perlawanan.
Kedua, dalam hegemoni budaya, kelas penguasa melakukan doktrinasi sistematis terhadap masyarakat bahwa norma-norma yang berlaku merupakan produk kekuasaan. Akibatnya, parameter etika dan moral yang menjadi acuan masyarakat dalam menilai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sepenuhnya ditentukan oleh kelas penguasa. Hal ini tercermin dalam beberapa kasus konkret: pada tahun 2018, aparat keamanan menyita 138 buku yang dianggap mempromosikan Partai Komunis Indonesia. Kasus terbaru adalah apa yang saya sampaikan dimuka, yaitu pembatalan pameran seniman Yos Suprapto, dimana 5 dari 30 lukisannya dinilai vulgar dan bernuansa politik karena menampilkan tokoh-tokoh nasional.
Dalam perspektif filsafat Marxis, hegemoni budaya merupakan bentuk dominasi terhadap masyarakat multikultur oleh kelas penguasa yang berupaya membentuk atau memanipulasi budaya masyarakat dari aspek keyakinan, persepsi, nilai-nilai, dan adat istiadat. Tujuannya adalah menjadikan pandangan kelompok dominan sebagai norma budaya universal tanpa perlu menggunakan paksaan fisik. Norma umum yang terbentuk ini kemudian bertransformasi menjadi ideologi dominan yang dianggap sah secara universal dan membenarkan status quo di bidang sosial, politik, maupun budaya sebagai sesuatu yang alamiah, tak terelakkan, dan seolah-olah memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat - meskipun pada kenyataannya lebih menguntungkan kelompok penguasa.
Masyarakat seharusnya tidak menerima hegemoni budaya yang diterapkan oleh kelas penguasa sebagai keniscayaan. Sebaliknya, ia harus dipandang sebagai konstruksi sosial yang perlu dikaji secara kritis hingga ke akar filosofisnya sebelum diterima sebagai norma universal. Masyarakat perlu menyadari bahwa keterbatasan persepsi yang dibentuk dapat menjadi instrumen eksploitasi sosio-budaya melalui mekanisme hegemoni budaya.
Realitas yang dikemukakan diatas menjadi bukti nyata bahwa Indonesia masih belum matang sebagai negara demokratis yang mengakomodasi nilai-nilai kebebasan berekspresi. Padahal, kebebasan berekspresi merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi karakteristik fundamental negara demokratis. Hal ini telah dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menegaskan hak setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Lebih lanjut, Pasal 22 Ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menjamin kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, baik secara lisan maupun tulisan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Raka Aprillia Eka Saputra
(Mahasiswa UIN Jakarta)
Recommended Post
Kemenham Dorong Daerah Lebih Serius Tegakan HAM
Leave a Comment