Juni 03, 2025

Meski Sudah Deklarasi, Kekerasan Celurit Masih Diminati

May 15, 2025
5Min Reads
88 Views

Pasca terbunuhnya Jimmy Sugito dan Een Jumiati, Desember 2024 sejumlah elit lokal dan kepolisian Bangkalan melakukan deklarasi peletakan senjata tajam dan agenda penghapusan tradisi carok. (Foto/Akurat)

KOMUNALIS.COM, OPINI - Pasca terbunuhnya Jimmy Sugito dan Een Jumiati, Desember 2024 sejumlah elit lokal dan kepolisian Bangkalan melakukan deklarasi peletakan senjata tajam dan agenda penghapusan tradisi carok. Disusul Wakapolres Bangkalan, Andi Febrianto Ali yang mengusulkan pembentukan Lembaga Adat Desa (LAD) untuk penanggulangan kekerasan celurit dari tesisnya pada 26 April 2025. 


Namun memasuki 5 bulan tahun ini, sudah 13 tragedi kekerasan bersenjata tajam yang terjadi di Madura. Diantaranya, Pemabuk di warung kopi Bangkalan, selingkuhan bunuh suami sah di Sapeken, pembunuhan oleh wanita paruh baya Banyuates, pembacokan saat bulan Puasa di Sokobanah, saat Hari Raya di Konang, klakson yang berujung saling bacok di Geger, Bacok menjelang sholat Jum’at, hingga kejadian di RSUD Ketapang kemarin.


Itu belum kekerasan model lain. Misal, Siswa ancam bunuh Guru di Sumenep dan sejumlah orang bersenjata menyerbu Puskesmas Geger Bangkalan. Ini menandakan jika celurit harga diri, tidak pernah mengenal momen, tempat, dan dapat dilakukan siapapun yang merasa harga dirinya direndahkan. Hingga saat ini, belum ada tindak lanjut dari agenda penghapusan tradisi carok tersebut. Kecuali pembentukan Satuan Tugas (Satgas) khusus anti kekerasan seksual dari Universitas Madura (Unira) bersama 14 perguruan tinggi lain di Madura, pada 5 Mei 2024 kemarin.


Kekerasan Celurit Masih Dilihat Sebagai Pembunuhan Biasa


Begitu kiranya yang tertulis dalam abstrak disertasi yang ditulis Haris berjudul “Penanggulangan Kejahatan Carok di Masyarakat Sampang Madura dengan Pendekatan Abolisionistik dalam Perspektif Kriminologi”. Ia menyatakan jika penanganan biasa sudah tidak lagi mampu memberantas kekerasan bersenjata tajam di Madura. Dimana di dalamnya, juga terlibat elit lokal seperti klebun atau tokoh agama dalam agenda penyuluhan dari penanganan penal dan non penal . 


Pasalnya, kekerasan berlabel carok ini lebih dominan difaktori konteks budaya dari pada kesenjangan sosial dan lainya. Artinya, perlu lebih dari sekedar penangan berbasis elit lokal dan kepolisian. Haris menawarkan penanganan berkala dengan rekonstruksi budaya dan penegakan hukum. Ini berarti, mencakup kiprah dari Budayawan, Pendidikan dan Keagamaan. Sebab kasus ini berkonteks labeling tradisi dan kebudayaan. Misal dengan intensitas razia senjata tajam, agenda unistal perilaku membawa senjata tajam “nyikep”, dan pengajuan pemberatan sanksi dari Pasal 340 KUHP. 


Tentu itu membutuhkan kerjasama yang intens antar lini, dalam istilah lain dikenal dengan agenda berbasis Civil Society. Dimana lokomotif Agama, Budaya, Pers, Pendidikan, Ormas, dan masyarakat umum, harus berada dalam semangat yang sama. Yakni secara intens dan sistematik menyuarakan penghapusan tradisi carok. Terkhusus pada persepsi dan sikap glorifikasi masyarakat pada carok dan pelakunya, yang pada akhirnya melahirkan keteladanan. 


Kesenjangan Sosial dan Citra Kepolisian


Selain motif wanita, nama baik keluarga, dan harta. Mata pencaharian juga menjadi alasan mengapa orang Madura mengangkat celurit. Tentu ini diluar motif abstrak seperti cekcok, tersinggung dan yang subjektif lainnya. Dari seorang informan penulis mendengar bahwa hingga kini, pembunuh bayaran yang pernah disinggung A. Latief Wiyata dalam Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura masih menjadi profesi di Madura. Tarifnya dipatok dari satu juta ke atas, tergantung kesulitan dan asal bukan orang tua serta guru pelaku. 


Kondisi ini memerlukan diagnosa dan penanganan yang ekstra, sebab pemberian pekerjaan dengan gaji yang tidak sebanding dengan hasil yang didapat saat membunuh, tentu akan menjadi pertimbangan bagi pelaku. Dalam hal ini peran blater sangat dibutuhkan untuk menghalau keteladanan dari predikat sosialnya sebagai strongman. Tentu dengan imbalan yang setimpal dari pemerintah, sebab tanpa pamrih rasanya sulit ditemukan.


Bahkan Cahyono dalam Model Penanggulangan Konflik Kekerasan (Carok) Etnis Madura Melalui Criminal Justice System dan Local Wisdom memaparkan, jika masyarakat memang lebih antusias terhadap pelaku carok daripada kejahatan lainya. Dimana mereka sampai dijenguk oleh kebarat jauh dan orang tidak dikenal, sementara maling dan semacamnya tidak.


Yang tak kalah penting adalah citra tegas, adil, dan tangkas dari kepolisian, Sebab carok dan celurit secara sosial mendapat legitimasi sebagai metode penyelesaian konflik. Artinya, jika kepolisian dalam menangani kasus terlalu bertele-tele, bukan tidak mungkin celurit itu akan menjadi pilihan terbaik dari hantu kebudayaan bernama carok itu. Sebab Umi Suci Sumantri dalam “Peranan Polisi dalam Upaya Meminimalkan Carok di Kabupaten Pamekasan” mengatakan, jika selain paradigma masyarakat dan perlindungan pelaku, penghambatnya juga sebab kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap Polisi. Misalnya, harus di demo berkali-kali untuk kasus Jimmy Sugito dan Een Jumiati.


Barangkali juga ada yang skeptis. Bagaimana tidak? Dua minggu setelah Kompol Andi memaparkan tesis, hanya website dan medsos @komunitaskabarmadura yang segera menyambut pembasmian peradaban celurit dalam campaign “Budaya ‘Nyikep’, Sikap Ksatria yang Harus Ditinggalkan”, dengan berbekal beberapa ribu followers saja di platform Tiktok dan Instagram. Sementara selebgram dan akan-akun informasi kemaduraan jutaan insight itu, nyaris sunyi. Padahal, telah berjibun penelitian yang menyatakan bagaimana Media Sosial mampu mempengaruhi paradigma masyarakat


Pada akhirnya, apa gunanya rencana pembuatan Tugu Anti Kekerasan dan pematangan ekonomi, jika setiap perilaku yang kurang mengenakkan selalu dihadapi dengan temperamen (pelanggaran harga diri)? Yang diktatnya terus diproduksi ulang dari glorifikasi, dan disesatkan oleh normalisasi. 


Jangankan berharap melakukan pembatasan hak sebagaimana dilakukan pemerintah Jepang pada para Ronin (Samurai) dan Yakuza, jika adanya deklarasi penghapusan carok saja tidak intens disambut pemerintah kota lain, selebgram dan media informasi dengan jutaan viewer di sosial media, ormas kemaduraan yang menumpuk di setiap kota perantauan, serta ormas Agama yang nyatanya lebih sigap mengurusi miniatur dan kajian yang belum jelas betul dampak negatifnya.



PENULIS:

Muqsid Mahfudz

(Alumnus STAI Al Anwar Sarang Rembang)

Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis