Persepsi tentang dikotomi antara Sains dan Agama masih tertanam kuat dalam pandangan sebagian masyarakat. Mereka beranggapan bahwa kedua entitas ini berada pada posisi yang berlawanan dan tidak memiliki hubungan. Namun tanpa disadari, teknologi seperti Google Maps yang kita manfaatkan ketika tersesat atau mencari masjid di lokasi asing merupakan bukti nyata bahwa keduanya saling melengkapi. (Foto/ Jabar Ekspres)
KOMUNALIS.COM, OPINI - Persepsi tentang dikotomi antara Sains dan Agama masih tertanam kuat dalam pandangan sebagian masyarakat. Mereka beranggapan bahwa kedua entitas ini berada pada posisi yang berlawanan dan tidak memiliki hubungan. Namun tanpa disadari, teknologi seperti Google Maps yang kita manfaatkan ketika tersesat atau mencari masjid di lokasi asing merupakan bukti nyata bahwa keduanya saling melengkapi.
Abdul Muis dalam disertasinya “Diskursus Islam-Sains dalam Keilmuan: Studi Analisis Pemikiran Achmad Baiquni, M Amin Abdullah dan Agus Purwanto” menegaskan bahwa interaksi antara ilmu agama dan sains tidak hanya berhenti pada level interpretasi filosofis, tetapi perdebatan dialektis yang terjadi bahkan mampu memicu konflik dalam kehidupan sosial. Contoh nyata adalah dalam merespons pandemi Covid-19 beberapa tahun silam.
Al-Qur'an sebagai sumber utama pengetahuan telah menjelaskan bahwa dari bumi dan segala isinya, kita dapat mempelajari hal-hal yang justru memperkuat keimanan dan religiusitas. Sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Ringkas al-Qur'an al-Karim terbitan Kementerian Agama RI pada QS. Ali 'Imran [3]: 190, bahwa dalam fenomena alam dan benda-benda langit terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi mereka yang merenungkannya dengan niat yang tulus.
Langkah-Langkah Harmonisasi
Beberapa tokoh yang dikaji Abdul Muis telah berupaya melakukan harmonisasi yang cemerlang antara Sains dan dimensi spiritual Agama, khususnya dalam konteks pendidikan Islam. Upaya ini bertujuan untuk menentukan hal yang modern dan bermanfaat, sekaligus selaras dengan ajaran Agama.
Sebagai contoh kecil, K.H. Zamroji Halim dalam Tafsir al-Mu'taṣam ketika memaknai redaksi {كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ} dalam QS. al-Baqarah [2]: 180, dengan terbuka menjelaskan tanda-tanda kematian melalui contoh munculnya penyakit berbahaya (eksternal maupun internal) yang secara medis berpotensi menyebabkan kematian. Beliau menegaskan bahwa Allah-lah yang menentukan kematian seseorang. Lebih baik mendoakan kesembuhan, karena pulih dari penyakit mematikan bukanlah hal mustahil jika itu kehendak Allah.
Menurut Lis Arifudin dalam “Integrasi Sains dan Agama serta Implikasinya terhadap Pendidikan Islam”, integrasi ini bukan berarti mencampuradukkan kedua entitas tersebut, melainkan menyelaraskan masing-masing perspektif untuk mewujudkan pendidikan modern yang tetap berlandaskan nilai-nilai agama, sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif bagi peserta didik.
Sebagaimana diuraikan Maryani dalam “Implikasi Integrasi Sains dan Agama Terhadap Pendidikan Islam”, paradigma integrasi didasarkan pada konsep tauhid yang menekankan kesatuan antara pencipta dan ciptaan dalam menyempurnakan perspektif integral maupun pragmatis. Misalnya dengan merumuskan materi pelajaran biologi, fisika, dan kimia yang diselaraskan dengan perspektif al-Qur'an. Dengan demikian, selain dapat mempelajari nilai-nilai Islam, siswa juga akan memperoleh keharmonisan wacana dari kedua bidang tersebut.
Dampaknya pada Pendidikan Karakter
Menurut Iis Arifudin, Integrasi Islam-Sains perlu didukung oleh proses pembelajaran yang kreatif, karena hal ini akan mendorong siswa melakukan eksplorasi ilmiah terkait isu-isu keagamaan yang dapat memperkaya pengalaman belajar mereka. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi para guru, yang harus lebih siap menghadapinya.
Integrasi Islam-sains juga berdampak pada aspek sosial keagamaan di samping pembentukan karakter beriman, sejalan dengan 6 dimensi dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila yang dicanangkan Kemdikbud: beriman, berkebinekaan, gotong royong, mandiri, kritis, dan kreatif. Dengan memahami keterkaitan Islam dan Sains, siswa juga akan belajar menghormati perbedaan dan menghargai keyakinan lain. Karakter berkebinekaan dan jiwa sosial akan semakin kokoh dalam membangun masyarakat yang harmonis dan toleran.
Sementara terkait kreativitas, daya kritis, dan kemandirian, metode pembelajaran, kurikulum, dan kompetensi pengajar menjadi faktor kunci tercapainya ketiga karakter tersebut. Sebab, mempelajari hal-hal yang tampak bertolak belakang justru akan meningkatkan daya kritis yang mendorong siswa melakukan eksplorasi mandiri dan mengembangkan kreativitas dalam menilai serta memahami berbagai fenomena.
Kesimpulan
Integrasi Sains dan Agama dalam pendidikan Islam akan melahirkan generasi pelajar yang tidak hanya memiliki kecakapan teknis, tetapi juga pemahaman konstruktif yang berlandaskan nilai-nilai agama dan sumbernya. Hal ini akan memberikan dampak positif dalam menghadapi kompleksitas masyarakat modern di masa depan. Dengan demikian, formulasi kurikulum, metode pembelajaran, serta kompetensi pengajar menjadi penentu bagaimana upaya ini dapat mewujudkan cita-cita pendidikan yang ideal.
Penulis:
Muqsid Mahfudz
(Alumnus STAI Al Anwar Sarang Rembang)
Recommended Post
Leave a Comment