Agama dan politik: Menarik bahwa kedua hal tersebut memiliki proses tarik ulur kepentingan yang kompleks.
KOMUNALIS.COM, OPINI - Membicarakan agama dan politik, menarik bahwa kedua hal tersebut memiliki proses tarik ulur kepentingan yang kompleks. Misalnya, peran strategis dari sebuah agama untuk mengkonstruksi dan memberi kerangka nilai dan norma untuk membangun ketertiban masyarakat dan sebagai alat pendisiplinan masyarakat. Sebaliknya, negara menggunakan agama sebagai alat untuk melegitimasi aturan-aturan yang ada dengan kekuatan dogmanya.
Relasi antara agama dan politik ini bukanlah hal baru yang kita temui saat ini. Keberadaan relasional antara kedua hal tersebut dapat kita lacak pada peradaban-peradaban yang lalu. Misalnya, pada abad pertengahan konsep teokrasi yang berkembang di bangsa Eropa pada abad pertengahan mewujudkan gagasan kedaulatan Tuhan dalam sistem kependetaan yang menyatu dengan kekuasaan para raja. Teokrasi Barat menjelmakan kedaulatan Tuhan ke dalam jabatan kepala negara. Dalam perkembanganya kekuasaan kepala negara (raja) menyatu dengan konsep kependetaan dalam agama Nasrani, sehingga teokrasi melahirkan sistem yang absolut. Hukum Tuhan dijalankan oleh raja-pendeta atas nama Tuhan yang sangat mutlak. Karena itulah istilah teokrasi di zaman modern sekarang selalu digambarkan sebagai kejahatan dan kekejaman yang dilakukan atas nama Tuhan. Teokrasi di negara-negara Eropa adalah sistem yang dibangun oleh pastur-pastur katolik zaman itu. Akan tetapi sayangnya, konsep tersebut justru digunakan untuk menindas rakyat, gereja dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia sehingga berhak melakukan apa saja terhadap proses kehidupan.
Keterlibatan agama dalam politik seperti yang digambarkan tersebut bukan hanya menggambarkan legitimasi keagamaan akan tetapi sampai pada bentuk politisisasi agama. Politisasi agama adalah penggunaan agama atau simbol-simbol agama sebagai alat untuk mendapatkan tujuan-tujuan politik atau untuk memobilisasi massa dalam memenangkan calon tertentu dalam pemilihan jabatan publik.
Menurut Masykuri Abdullah politisasi agama, dilakukan: 1) berdasarkan dalil-dalil keagamaan atau argumentasi yang bersifat diperselisihkan (khilafiyah), (2) penggunaan agama disertai kampanye negatif, kebencian dan/atau permusuhan terhadap lawan politik, (3) berorientasi hanya kepentingan kelompok, dan mengabaikan kepentingan bersama.
Politisasi agama juga terjadi di negara-negara Barat sekuler yang dalam banyak kasus terintegrasi dengan politik identitas dan populisme, dan bahkan Islamofobia. Di Amerika Serikat, agama juga dijadikan sebagai alat legitimasi dan bahkan politisasi dalam pemilu, terutama untuk menarik dukungan dari kelompok-kelompok konservatif dan fundamentalis. Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2016 lalu tidak terlepas dari politisasi agama dalam kampanyenya, terutama politik anti-Islam (Islamofobia) dan anti-imigran.
Demikian pula, penambahan suara atau kemenangan pendukung partai-partai kanan di Eropa Barat dalam pemilihan umum juga tidak terlepas dari politisasi agama. Partai-partai sayap kanan itu antara lain: National Front Party di Perancis dengan tokohnya Marine Le Pen, The Party for Freedom di Belanda dengan tokohnya Geert Wilders, dan Danish People’s Party dengan tokohnya Pia Kjarsgaard. Austria adalah negara yang saat ini pemerintahannya dikuasai oleh partai sayap kanan, yakni Austrian People’s Party dengan tokohnya Sebastian Kurz.
Penggunaan isu-isu agama (politisasi agama) dalam pemilihan di Indonesia juga terjadi di Indonesia, terutama pada masa kampanye Pemilihan Presiden (Piplres) 2019 muncul ungkapan tokoh politik yang bisa disebut sebagai politisasi agama yang membangun jurang pemisah begitu besar antara pendukung salah satu calon presiden dengan pendukung calon lainnya. Dikotomi kelompok “Islamis” dan “Pancasilais” menjadi identitas baru seiring dengan berjalannya pemilihan umum bahkan hingga hari ini.
Relasi agama dalam politik yang terjadi bukan sebagai alat kontrol moralitas, akan tetapi hanya sebagai simbol-simbol yang dapat diperdagangkan secara politik untuk memperoleh kekuasaan. Indonesia dengan negara yang penduduknya mayoritas muslim, tentu menjadi target para politisi untuk dapat memperoleh suara di pemilihan umum dengan menonjolkan identitas-identitas keagamaan sebagai alat mendompleng elektabilitasnya.
Sehingga penggunaan isu bernuansa politik identitas yang notabene identitas agama marak dan laris digunakan, implikasinya menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA bahkan memperlihatkan angka penurunan jumlah publik yang mendukung Pancasila. Di sisi lain ada peningkatan jumlah masyarakat yang menginginkan Indonesia berdasarkan NKRI bersyariah (Pro-NKRI bersyariah). Politik identitas kerap kali diartikan sebagai politik yang mengedepankan relasi emosional seraya merendahkan pertimbangan rasional. Sehingga pilihan yang diambil lebih karena bersifat dorongan primordial yang kurang mengedepankan pilihan karena pertimbangan kemanfaatan umum.
Fenomena ini semakin nampak jelas sebulan terakhir terutama dibulan Ramadan yang lalu, dimana umat Islam di Indonesia melaksanakan berbagai macam ritual peribadatan dengan dogma bahwa dibulan ini segala amal akan dilipatgandakan. Doktrin bulan Ramadan sebagai bulan dilipatgandakannya amal kebaikan menjadi hal yang sering didiskusikan dan disalah artikan. Memberikan arti yang salah pada “kesucian” bulan Ramadan ini menjadi santapan dan sasaran empuk para politisi untuk menggencarkan aksi kampanye dan propagandanya. Sehingga terjadilah ritual-ritual dahaga nilai.
Terlihat dari segala bentuk dan tanda yang muncul dihapadan kita semakin kehilangan ontologisnya. Sehingga, tentu kitapun kehilangan orientasi tujuan dari “apa yang hadir”. Hilangnya logos (pusat dalam arti bahasa) dari puasa bukanlah terjadi karena kelalaian umat Islam sendiri. Jika kita bertanya pada Herbert Marcuse, Ia pasti langsung menuding bahwa kapitalisme aktor utamanya. Hal ini dapat dilihat dari genealogi tulisan Marcuse. Ia menjelaskan bahwa eksploitasi kemanusiaan dan nilai (value) yang dilakukan oleh kapitalisme adalah usaha terselubung yang laten, dimana ujung dan pangkal dari upaya tersebut adalah reproduksi kesadaran palsu.
Lebih lanjut, Marcuse menjelaskan bahwa kita diinfiltrasi melalui budaya, lalu simplifikasi darinya merupakan penguasaan atas bahasa. Bahwa, pemikiran kita dibentuk dengan “keinginan” dan “menjadi”. Dalam filsafat, nurani kita di daur ulang untuk menganggap sesuatu baik yang pada kenyataannya hanya identik dengan simbol yang diasosiasikan pada hal tersebut. Misal, kegiatan bantuan sosial berupa pembagian sembako oleh partai politik kepada masyarakat yang tujuannya hanya untuk canvassing partai politik tersebut. Seandainya tujuan dari politik adalah kesejahteraan bersama, maka kegiatan-kegiatan serupa akan dilakukan secara berkelanjutan dan sinambung dengan membantu merestrukturasi komponen ekonomi masyarakat, misal dengan membina UMKM dan koperasi, bukan hanya bantuan sosial yang temporer dengan nominal kecil tetapi logo partai yang begitu besar dan sorotan media yang begitu silau.
Dibulan ramadan sebelum pemilihan umum (Pemilu) kemarin ditemukan pula kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat massal yang diselenggarakan oleh partai politik dengan turut mengundang pemuka agama, tujuannya tentu untuk memberi kesan bahwa partai politik tersebut dekat dengan kelompok mayoritas Islam. Seperti kegiatan safari ramadan, khataman qur’an menyambangi pondok pesantren dengan flyer yang menonjolkan wajah atau potret figur politik tertentu.
Dalam kajian propaganda, dapat ditemui fenomena-fenomena seperti dengan menggunakan teknik propaganda seperti plain folks yang menggunakan pendekatan untuk menunjukkan bahwa sang propagandis rendah hati dan mempunyai empati dengan penduduk pada umumnya, dengan kata lain pelaku propaganda adalah sama dengan masyarakat. Teknik ini mengenalkan motif tulus seseorang yang berkecimpung dalam kegiatan sosial kemasyarakatan atau sosial politik. Dengan menggunakan teknik ini, para propagandis berupaya meyakinkan khalayak bahwa gagasan mereka berkaitan dengan keseharian rakyat biasa atau orang awam. Trik semacam ini sering kita jumpai di Indonesia, misalnya Cak Imin yang senantiasa menggaungkan ke-NU-annya.
Selanjutnya sering kita temui trik propaganda lainnya, yaitu testimonial digunakan untuk meminta dukungan seseorang yang berstatus tinggi untuk mengesahkan dan memperkuat tindakannya dengan pengakuan atau kesaksian orang tersebut. Teknik ini memberi kesempatan kepada orang-orang yang mengagumi atau membenci untuk mengatakan bahwa sebuah gagasan, program, produk, seseorang itu baik atau buruk. Seperti kita lihat pernah beredar juga kemarin bahwa AHY merupakan salah satu keturunan Majapahit yang disampaikan langsung oleh salah satu ulama besar di Pulau Jawa.
Pada akhirnya, kondisi seperti ini menafikan esensi kemanusiaan yang tersirat dalam agama itu sendiri. Ramadan sebagai wahana untuk menahan peribadatan dan Idul Fitri adalah bentuk kemenangannya, menjadi tak bermakna. Dan masayarakat muslim sebagai mayoritas hanya menjadi target pasar dari agenda komunikasi politik yang lebih besar di bulan suci ini.
Fenomena seperti ini dapat disebut dengan istilah religionomic. Fenomena religionomic secara filosofis dapat digambarkan sebagai suatu keadaan dimana para pelukanya bertindak layaknya germo dan pelacur, yang menggunakan trik-trik dan rayuan-rayuan manipulatif untuk mengkomersialisasikan simbol-simbol dan term-term keagamaan serta memanfaatkan untuk tujuan komersil (politik). Semua kegairahan, semangat, kesenangan, dan luapan hasrat keagamaan di ruang publik semata-mata demi memperoleh niai tambah. Fenomena religionomic, dengan kata lain adalah kepentingan yang bercumbu mesra dengan agama.
Bahkan parahnya, kecanduan yang disebabkan manipulasi religionomic ini terlihat dari peristiwa aksi mahasiswa pada tanggal 11 April lalu yang mengakibatkan seorang akademisi terkemuka Ade Armando menjadi bulan-bulanan oleh massa yang tanpa ragu melakukan aksi kekerasan dengan membawa nama tuhan. Maka, mengutip pernyataan penulis di awal, relasi agama sebagai bentuk kontrol moralitas dan alat penertiban dan pendisiplinan bangsa total hilang peranannya. Agama hanya dijadikan alat manipulasi kepentingan dan alat mobilitas belaka.
Kegaduhan serupa seperti yang dialami Ade Armando, walaupun tidak secara fisik memang bukan hal baru dalam ruang publik Indonesia, terlebih lagi pasca pilpres 2019 yang menciptakan disparitas antar warga. Kelompok yang cenderung lebih sekuler dicap anti Islam dan kelompok yang cenderung puritan distigmakan sebagai anti NKRI. Lantas sampai kapan agama, dalam konteks Indonesia Islam selalu menjadi alat kepentingan politik belaka? Bahkan pada kesimpulan penulisan ini, relasi agama dan politik di Indonesia hanya relasi kekuasaan belaka.
Penulis:
Glamora Lionda
(Pegiat Literasi Digital)
Recommended Post
Kemenham Dorong Daerah Lebih Serius Tegakan HAM
Leave a Comment