Maret 06, 2025

Sejumlah Advokat Muda Gugat Peraturan DPR 1/2025 ke MA

February 24, 2025
2Min Reads
52 Views

Sejumlah advokat dari Kantor Hukum “Dignity Atorney and Counsellours at Law” telah mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 228A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2025 ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. (Foto/Istimewa)

KOMUNALIS.COM, HUKUM - Sejumlah advokat dari Kantor Hukum “Dignity Atorney and Counsellours at Law” telah mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 228A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2025 ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada 24 Februari 2025. Permohonan ini diajukan atas nama Pemohon Setya Indra Arifin, seorang dosen, dan A. Fahrur Rozi, seorang mahasiswa.


Dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa ketentuan dalam Peraturan DPR 1/2025 memberikan kewenangan evaluasi terhadap calon yang telah ditetapkan dalam pengisian jabatan pada lembaga penegak hukum, kekuasaan kehakiman, dan lembaga independen. Hal ini dianggap bertentangan dengan Pasal 70 ayat (3), Pasal 185 ayat (1) dan (2), serta Pasal 234 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.


Menurut Kuasa Hukum Pemohon, M. Abdul Kholiq Suhri yang biasa disapa Aleqs Mohammad, revisi tata tertib ini memberikan kewenangan yang luas kepada DPR yang berpotensi menciptakan subordinasi terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Agung (MA). Implikasi dari pemberlakuan Peraturan DPR 1/2025 dinilai dapat merusak prinsip checks and balances yang telah terbangun dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.


Aleqs Mohammad berpendapat bahwa tata tertib DPR tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang lebih tinggi, sebagaimana diatur dalam hirarki norma hukum. Oleh karena itu, mereka meminta Mahkamah Agung untuk membatalkan Pasal 228A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan DPR 1/2025.

Secara teori Hirarki hukum Tatib itu hanya mengikat ke dalam internal bukan keluar, artinya secara teori hukum sudah salah kaprah ketika Tatib bisa menjangkau keluar.


”DPR kalau ngebet ingim punya kewenangan evaluasi tersebut harus diatur dalam undang-undang bukan dalam Tatib, kalau pengen ya, bukan berarti boleh,” kata Aleqs Mohammad.


Secara teori kewenangan MD3 juga tidak memberikan mandat tersebut. Artinya, tindakan mengatribusi suatu kewenangan melalui peraturan internal kelembagaan seperti tata tertib adalah tindakan ultra vires yang bertentangan dengan undang-undang.


Selain dari pada itu, fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi kelembagaan yang dimiliki DPR bersifat limitatif hanya dilaksanakan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah (Pasal 70 ayat (3) UU 17/2014). Secara konseptualisasi yuridis, fungsi pengawasan tersebut tidak diatribusikan untuk mengawasi lembaga penegak hukum, kekuasaan kehakiman, dan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang, apalagi sampai melakukan evaluasi jabatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 228A ayat (1) dan ayat (2) Peraturan DPR 1/2025.


Dalam posisi seperti itu, menurut Aleqs Mohammad, kewenangan evaluasi ini justru akan mengancam desain kelembagaan dan sistem ketatanegaraan Indonesia.


”Jadi kewenangan evaluasi yang didalilkan berdasarkan fungsi pengawasan DPR adalah alasan yang sesat pikir dan bertentangan dengan desain fungsi pengawasan itu sendiri,” ucapnya.

Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis