Juni 03, 2025

Influencer: Agen Politik?

January 06, 2025
7Min Reads
99 Views

Peran influencer sebagai buzzer tokoh-tokoh politik tertentu. (Foto/ Ilustrasi Istimewa)

KOMUNALIS.COM, OPINI - Kemajuan teknologi yang begitu pesat dan berskala besar telah membantu percepatan perubahan dan dinamika di era globalisasi.


Sebagaimana yang dikatakan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye (2000) bahwa, pola pertukaran informasi, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya berjalan dengan faster, cheaper, dan deeperFaster artinya bahwa teknologi mewadahi atau menjembatani penyampaian pesan atau informasi menjadi lebih cepat. Cheaper artinya bahwa akses kepada informasi menjadi semakin mudah terjangkau, karena semakin murahnya perangkat elektronik atau teknologi dan pendukungnya untuk dimiliki Deeper memiliki makna bahwa aktor yang terlibat dalam semakin dalam, meluas, dan banyak. 


Meluasnya aktivitas dalam komunikasi secara digital terutama di berbagai platform media sosial, implikasinya memunculkan berbagai peran baru seperti influencer yang memegang peran penting dalam tren digital. Media sosial sendiri merupakan sarana atau media yang digunakan untuk berinteraksi dan dilakukan secara online. Influencer, di sisi lain adalah individu di media sosial yang memainkan peran kuat dalam mempengaruhi banyak orang. Isu mengenai influencer yang muncul belakangan ini terkait hubungannya dengan dunia perpolitikan di Indonesia yang dianggap efektif dalam memperluas jangkauan politik, khususnya dalam komunikasi politik di era modern.


Influencer adalah individu atau kelompok yang memiliki kekuatan untuk mengubah dan mempengaruhi orang dan menciptakan kebaruan yang banyak diikuti. Istilah ini awalnya menggambarkan orang-orang di sekeliling pemegang kuasa, dan dalam konteks politik itu bisa menjadi sekelompok orang yang terorganisir seperti politisi, konglomerat, dan bahkan serikat pekerja dan organisasi nirlaba. Sederhananya, mereka mampu membisiki otoritas untuk dapat mewadahi dan mewujudkan aspirasi dan keinginannya.


Munculnya internet sebagai medium opini publik membuat term influencer mengalami pergeseran makna populer yang cukup signifikan. Influencer saat ini lebih sering dimengerti sebagai seseorang yang mendapatkan ketenaran dari internet, terutama media sosial, dan lebih umum sebagai orang yang memiliki penggemar dan dapat menggunakan diri mereka sebagai saluran untuk mempromosikan ide-ide mereka, baik itu produk atau sikap atau perspektif tertentu.


Hariyanti dan Wirapraja (2018) mengungkapkan, bahwa influencer merupakan seseorang atau publik figur pada sosial media yang memiliki jumlah pengikut yang banyak atau signifikan serta beragam, dan hal yang mereka tampilkan, pertontonkan dan sampaikan dapat mempengaruhi pola prilaku dari para pengikutnya. Pada saat ini, kehidupan influencer tidak luput dari perhatian banyak masyarakat terutama pengguna media sosial. Sejak kemunculan beberapa aplikasi sosial media saat ini. influencer seolah menjadi trendsetter bagi kaum milenial. Bagaimana tidak, dengan banyaknya pengikut, influencer dapat mempengaruhi perilaku banyak orang terhadap hal-hal tertentu.


Di Indonesia, tren ini meledak dalam beberapa tahun terakhir. Istilah seperti vlogger, youtuber, selebgram, dan selebtwit sudah menjadi hal yang lumrah, dengan para influencer baru yang bermunculan di ruang digital yang mempresentasikan ide, gagasan, kegiatannya bahkan sampai sektor privat kemudian membawanya ke hadapan publik. Banyak dari mereka adalah anak muda yang bersemangat untuk secara aktif mengeksplorasi dunia maya agar mengesankan audiens.


Jika menyamakan influencer ini dengan para aktor dan aktris serta pelaku di dunia entertainment pada generasi sebelumnya yang menjadi terkenal dengan adanya televisi dan film. Kehadiran film dan televisi menghadirkan budaya selebritas yang dicintai banyak orang dan dengan cepat membuat para selebritas ini menjadi corong opini publik, bahkan yang tidak berkaitan dengan seni sekalipun. Beberapa orang mendapatkan posisi penting, Misalnya di Amerika Serikat, Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger terpilih sebagai presiden dan gubernur karena status popularitas mereka yang tinggi, atau di Indonesia pedangdut Zaskia Gothic yang dijadikan Duta Pancasila padahal secara kapasitas sangat tidak relevan dengan amanah yang diberikan.


Akankah model serupa terulang dengan kalangan influencer ini, khususnya di Indonesia? Internet sudah diakui sebagai platform sosial yang sangat penting bagi generasi muda saat ini. Ada banyak festival, acara penghargaan, dan bahkan pujian dari otoritas politik atas kekuatan influencer untuk mendorong tren sosial dan opini publik. Namun, masih sangat sedikit yang memanfaatkan modal ketenarannya untuk serius masuk ke dunia politik dan menjadi seorang \influencer-politician\.


Mengapa politik? Sebab ranah ini merupakan otoritas tertinggi dalam mempengaruhi sebuah kebijakan. Masalahnya, influencer selama ini ragu untuk terjun ke dunia politik. Beberapa dari mereka memilih berperan sebagai buzzer (pendengung) tokoh-tokoh politik dan membentuk opini kepada audiens mereka untuk mendukung tokoh-tokoh tersebut. Lainnya menanggapi isu-isu politik sebagai sarana untuk meningkatkan sensasi.


Proses kebijakan sebagai sebuah sistem politik secara sederhana telah digambarkan oleh David Easton (1965). Proses pengambilan keputusan atau kebijakan dipaparkan Easton dalam skema input - process- output - feedback. Secara signifikan, influencer dapat berperan dalam proses input dan feedback kebijakan.


Proses input disini adalah proses dimana aktor politik mulai memproses kepentingannya dalam proses pembuatan kebijakan yang akan disepakati nantinya. Pada tahap ini, konsep dukungan yang lahir dari masyarakat umum membantu menekan pemangku kepentingan terkait untuk segera menyusun kebijakan yang ideal.


Influencer diharapkan berperan dalam mengekspresikan kepentingan seluruh masyarakat dalam bentuk dukungan sebagai ekspresi dari civil society yang mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dukungan dari influencer harus diberikan tanpa ada muatan kepentingan di baliknya, tetapi hanya sebagai proses penyampaian aspirasi dalam komunitas.


Saat menempatkan influencer dalam sistem politik era digital, harus bisa menerima bahwa ada berbagai cara untuk memberikan dukungan dengan cara yang mereka miliki. Dalam artian, diksi dan konten yang digunakan dengan kreatifitas yang dimiliki para influencer akan memberi pengaruh bagaimana mereka akan menyampaikan dukungan. Hal ini tidak akan menimbulkan masalah selama mudah dipahami oleh masyarakat luas. Tentunya metode influencer akan terasa sangat berbeda jika dibandingkan dengan cara yang dilakukan para akademisi. Hal ini karena akademisi cenderung memiliki aturan dan kaidah yang harus mereka patuhi, sedangkan para influencer cenderung lebih bebas. Pada dasarnya, baik kelompok akademisi maupun influencer memiliki tujuan yang sama.


Peran lain yang dimainkan influencer dalam sistem politik era digital adalah proses umpan balik (feedback). Proses ini melibatkan kegiatan di mana kebijakan dipantau, diteliti lebih lanjut, dan dievaluasi oleh pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan dan otoritas yang dimiliki, yang bertujuan agar implementasi kebijakan yang mendatang akan berjalan lebih baik.


Singkat kata, peran influencer merupakan sebagai salah satu bentuk wujud dari ekspresi yang diberikan oleh masyarakat luas, yang menggambarkan rasa puas atau ketidakpuasan yang ditunjukkan atas kebijakan yang diterapkan. Dapat disimpulkan bahwa keberadaan influencer memberikan pengaruh positif dalam situasi politik saat ini.


Influencer juga merupakan sumber kekuatan baru di masyarakat dalam hal mengekspresikan pandangan politik mereka ketika demokrasi modern saat ini hanya didominasi oleh kepentingan pasar. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan untuk menempatkan influencer dalam sistem politik era digital sangat bermanfaat dan berdampak positif, khususnya di arena politik.


Peran lain dari influencer adalah membangun tatanan politik yang ideal dengan pemerintah dan sektor swasta lainnya. Hal ini dapat dicapai dengan membentuk opini dan mempengaruhi sikap pengikut dengan menyebarkan informasi yang mendukung melalui akun media sosial. Namun, untuk melakukan ini, para influencer memiliki dua sisi dalam pergerakan saat ini. 


Sisi pertama bertujuan untuk menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat umum tentang program dan agenda pemerintah, menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan lebih dapat diterima oleh masyarakat umum. Sedangkan sisi kedua yang mereka miliki adalah menjadi penyeimbang kekuasaan yang dilakukan bersama pihak oposisi untuk menguatkan peran check and balance. Juga menjadi watch dog bagi berjalannya sistem demokrasi sebagai penguatan peran media massa demi menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan menghindari abuse of power.


Penempatan influencer dalam sistem politik era digital merupakan keputusan yang tepat dan perlu dilanjutkan karena influencer sendiri memiliki pengaruh yang besar. Dalam jangka waktu lima sampai sepuluh tahun kedepan harapannya kita dapat melihat prilaku internet para influencer diharapkan bermigrasi dari sekedar tingkah dan aktivitas yang sensasional belaka menjadi aksi-aksi yang lebih esensial dengan tidak hanya menuai click dan like akan tetapi dapat menjadi aksi nyata bagi kepentingan masyarakat sipil. Diskursus antara sensasi dan esensi ini sempat viral karena melibatkan salah seorang influencer yaitu Awkarin dan politisi PDIP Budiman Sudjatmiko. 


Dengan adanya internet dan influencer ini membuat corong komunikasi poltik menjadi lebih deras dan signifikan, misalnya pada kemenangan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat yang menggunakan influencer untuk membantunya. Hal menarik yang ada pada kampanye Biden adalah mengajak para influencer melakukan siaran langsung melalui akun Instagram mereka bersama Biden satu per satu, kemudian membuka diskusi yang memungkinkan proses komunikasi politik bagi banyak kalangan masyarakat.


Kehadiran influencer seharusnya dapat menjadi angin segar dalam kultur politik kita yang kian oligarkis dan elitis. Kelompok influencer pada dasarnya adalah sebuah fenomena kelas profesi baru yang bertumpu pada teknologi dan kreativitas, sehingga cara mereka melihat masalah dan menemukan solusinya seharusnya akan lebih baik daripada politisi-politisi kawakan yang cenderung kaku. Idealnya, para influencer ini membentuk sebuah kutub politik baru daripada masuk ke partai-partai politik yang terlalu oportunis dan masih melihat generasi muda sebagai energi suplementer alih-alih utama.


Patut dinanti untuk melihat masa depan politik Indonesia dan bagaimana hal itu bersinggungan dengan tren yang melonjak saat ini dari para influencer dari berbagai bidang profesional dan kreatif.


Penulis:

Glamora Lionda

(Pegiat Literasi Digital)


Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis