Juli 25, 2025

Ahmad Dhani, dan Jurus Mabuk Ala Gus Dur Menyoal Hak Cipta

April 11, 2025
6Min Reads
204 Views

Jauh sebelum kisruh hak cipta musik memanas seperti sekarang, Ahmad Dhani justru sudah lantang bersuara soal hak ekonomi untuk para pencipta lagu. (Foto/Internet)

KOMUNALIS.COM, OPINI -Ahmad Dhani, pentolan group band Dewa 19 yang kini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), bukan nama baru dalam dunia musik Tanah Air. Jauh sebelum kisruh hak cipta musik memanas seperti sekarang, pria kelahiran Surabaya 26 Mei 1972 itu justru sudah lantang bersuara soal hak ekonomi untuk para pencipta lagu. Itu sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ini merupakan peraturan yang banyak diterjemahkan melindungi hak-hak pencipta dan mendorong kreativitas seniman di Indonesia


Bagi sebagian orang, Dhani, begitu akrab ia disapa, mungkin terlihat arogan, ceplas-ceplos, bahkan tak jarang menyebalkan dengan pernyataannya yang kerap memancing kontroversi. Tapi, di balik sikapnya yang kebanyakan orang menganggap keras itu, ternyata terselip niat mulia: membela para seniman “yang terlupakan” atau terpinggirkan dalam industri musik Indonesia, negara yang katanya kaya akan budaya, tapi pada praktiknya seolah miskin penghargaan terhadap kekayaan intelektual itu sendiri.


Agaknya sudah jadi rahasia umum, di negeri yang diklaim sebagai surga seni ini, hak cipta lebih sering jadi bahan tertawaan ketimbang dijunjung tinggi. 


Seolah akrab di telinga, kita terbiasa mendengar cerita tragis: pencipta lagu yang karyanya hits di masanya, justru hidup merana di hari tua, bergulat dengan kemiskinan, sementara lagu-lagu mereka masih dinyanyikan di panggung-panggung megah atau kafe-kafe kekinian anak muda zaman sekarang yang katanya modern itu. 


Ahmad Dhani atau pemilik nama asli Dhani Ahmad Prasetyo itu, entah disadari atau tidak, tampaknya tergerak oleh realitas yang terjadi di blantika musik nusantara dewasa ini. Ia bukan sekadar musisi flamboyan yang haus perhatian; ia seloah menjadi oase di gurun yang peka mendengar jeritan para pendahulunya.


Lihat saja kiprahnya. Lagu-lagu ciptaannya bersama Dewa 19 bukan cuma hits lokal, tapi juga diakui dunia. Rolling Stone Magazine edisi the immortals 2005 silam, bahkan menganugerahkan Immortal Award untuk karya-karyanya. Menurut hemat kami, itu adalah bukti bahwa Dhani bukan sembarang “profesor musik” kontemporer. 


Dengan antara lain bermodal prestasi itu, Dhani bisa saja duduk manis menikmati royalti dan ketenaran. Tapi tidak. Ia memilih jalan terjal: memperjuangkan hak-hak pencipta lagu yang selama ini tenggelam dalam sistem industri musik Indonesia yang amburadul.


Namun, apa yang terjadi? Alih-alih mendapat tepuk tangan, Dhani justru “dihakimi” oleh sebagian pecinta musik Tanah Air. 


AKSI, organisasi yang ia gawangi bersama Piyu PADI sejak 3 Juli 2023, malah jadi sasaran kritik. Mereka dituding serakah, memeras penyanyi, bahkan memecah belah industri musik. 


Puncaknya, muncul Vibrasi Suara Indonesia (VISI), yang dinakhodai oleh Armand Maulana (Vokalist GIGI), Ariel NOAH, dan deretan musisi top lainnya pada Februari 2025, sebagai respons atas gerakan AKSI. VISI, yang kini beranggotakan kurang lebih puluhan penyanyi ternama seperti Rossa, Bunga Citra Lestari, hingga Vidi Aldiano itu, malah menggugat Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 ke Mahkamah Konstitusi pada 7 Maret 2025. Mereka menuntut keadilan bagi penyanyi dan pelaku pertunjukan, yang merasa terancam oleh konsep direct license yang digaungkan AKSI.


Media sosial pun akhirnya jadi gelanggang perang. Pendukung AKSI dan VISI pun saling sindir, saling serang, hingga menciptakan drama yang lebih seru ketimbang sinetron prime time bahkan Netflix sekalipun. 


Padahal, kalau kita tarik benang merahnya dengan hukum kausalitas—sebab dan akibat—VISI lahir justru karena AKSI ada lebih dulu. 


Ahmad Dhani yang adalah pionir justru membuka kotak Pandora soal hak cipta. Tanpa suaranya yang nyaring sejak lama atau terorganisir pada awal Juli 2023 (AKSI-red), mungkin para penyanyi yang memilih gabung ke organisasi VISI tak akan tergerak untuk bersatu. 


Pada medio 2000-an, Dhani sebetulnya sudah bersuara lewat ‘gayanya’ yang kadang-kadang menyindir soal rendahnya apresiasi terhadap pencipta lagu di Indonesia, meskipun tidak segetol sekarang, langsung mengkampanyekan isu hak cipta secara terstruktur, sistematis dan rigid.


Salah satu indikasi awal perhatiannya terhadap hak pencipta pun bisa dilihat dari langkah bisnisnya. Pada 2004, musisi berkepala pelontos itu mendirikan Republik Cinta Management (RCM), yang mengelola karya-karya musiknya dan artis lain. 


Ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya kontrol atas hak cipta dan distribusi karya, meski fokusnya saat itu lebih pada pengelolaan komersial ketimbang advokasi publik. 


Ironis, bukan? Orang yang membangunkan kesadaran (Dhani CS) seolah kini malah jadi musuh bersama? Di sinilah, kita teringat pada sosok Abdurrahman Wahid, atau yang akrab kita panggil Gus Dur, Presiden ke-4 RI yang legendaris itu. 


Ada kemiripan menarik antara Dhani dan Gus Dur dalam cara mereka memperjuangkan cita-cita. Terlepas dari itu, sekadar informasi, Dhani memang memiliki kedekatan khusus dengan Gus Dur. 


Keduanya sama-sama pakai “jurus mabuk”—bersuara berbeda, bahkan berseberangan dengan logika umum atau logika pasar, demi membuka mata-bahkan hati orang lain. 


Ingat pernyataan kontroversial Gus Dur di era Orde Baru (Orba-red) Soeharto: “PORKAS halal karena negara menjamin itu”? Saat itu, PORKAS (Pekan Olah Raga dan Ketangkasan)—undian sejenis lotre berbalut pajak untuk sosial—, dalam hal ini adalah program pemerintah yakni Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). 


Gus Dur, dengan gaya santainya nan jenaka tapi filosofis itu, melempar pernyataan kontroversial itu padahal hanya dan sekadar hanya untuk memancing dialektika atau diskursus publik agar melek. 


Alhasil, berhasil: orang-orang mulai bicara soal moralitas dan hukum. Ini juga jauh sebelum orang-orang pada akhirnya membicarakan SDSB yang adalah program pemerintah kala itu. 


Program SDSB itu sedianya mengacu pada keputusan Menteri Sosial Nomor 21/BSS/XII/1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengumpulan SDSB dan Keputusan Menteri Sosial Nomor BSS 16-11/1988 tentang Pemberian Izin Penyelenggaraan Pengumpulan SDSB kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS). Namun, usia judi lotre berkedok sumbangan itu pun pada akhirnya tak bertahan lama.


Peredaran kupon SDSB, yang dikelola Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) sesuai Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor BS-10-4/91 yang diteken Mensos Haryati Soebadio, pun akhirnya bisa berhenti pada 24 September 1994. Alhasil pada saat itu pula, SDSB menghilang dari Indonesia.


Sejurus dengan itu, hemat kami, Dhani pun demikian (melawan arus). Dhani menentang arus logika pasar yang selama ini membiarkan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) jadi “tuan tanah” dalam urusan royalti. Yang dalam praktiknya, sistem ini justru sering menindas pencipta lagu. 


Dilansir BBC News Indonesia 13 Maret 2025, banyak musisi yang meragukan transparansi LMK dalam mengelola royalti. Ahmad Dhani, bersama AKSI, mengusulkan direct license—mekanisme di mana penyanyi atau pengguna lagu langsung bernegosiasi dengan pencipta. Radikal? Mungkin. Tapi efektif untuk membongkar kebobrokan sistem yang ada dan selama ini berjalan. 


Karena di sini, diuji, etika dan tenggang rasa juga tau diri, mereka yang mengatasnamakan diri insan musika. 


Lihat juga kasus Agnez Mo (Agnes Monica,-red). Pada 30 Januari 2025, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memvonisnya bersalah karena membawakan lagu “Bilang Saja” ciptaan Ari Bias tanpa izin, dan didenda Rp1,5 miliar. 


Kasus ini jadi pemicu besar: AKSI bersorak karena hak pencipta ditegakkan, sementara VISI menjerit karena penyanyi jadi “kambing hitam”. 


Jurus mabuk Dhani ternyata berhasil. Hari ini, 10 April 2025, AKSI menggelar debat terbuka di Artotel Senayan, Jakarta, mengundang VISI, Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI), dan PAPPRI untuk membahas hak cipta. Meski tidak semua delegasi atau perwakilan VISI dll hadir karena dianggap tak ada undangan resmi. 


Tapi, acara ini jadi bukti: hak pencipta lagu kini bukan lagi obrolan pinggir jalan, tapi diskursus nasional. Mulai dari pengamen jalanan, musisi, atau bahkan rakyat yang awam musik sekalipun. Semua bicara soal royalti, performing rights, dan keadilan di industri musik Tanah Air, jauh daripada itu menyoal hak azasi manusia.


Ahmad Dhani—dengan segala kontroversinya—adalah cermin dari kegigihan seniman yang pro terhadap karya itu sendiri. Ayah Al-El-Dul itu tak sekadar musisi; ia adalah pengguncang yang memaksa kita semua melihat kebobrokan yang selama ini disembunyikan di balik gemerlap panggung. 


Seperti Gus Dur, di tengah hiruk-pikuk industri musik yang penuh intrik ini, satu hal jelas: Dhani telah menyalakan api diskusi yang tak akan padam dalam waktu dekat. Ia mungkin bukan pahlawan seperti lagu-lagu yang tercipta, tapi, lebih jauh daripada itu, ia adalah suara yang kita butuh dengar—mau, suka atau tidak suka, adalah realitas.


Penulis:

Faisal Aristama

(Masyarakat Sipil Ciputat)

Leave a Comment
logo-img Komunalis

All Rights Reserved © 2025 Komunalis